PENGELOLAAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
BERBASIS MASYARAKAT ADAT *
Oleh DR(CD). Ir.Hamzah Lubis, SH, MSi
Ketua lsm Bina Lingkungan Hidup-SU
Konsep pembangunan berkelanjutan dalam perumusan
kebijakkan pembangunan suatu negara, sebenarnya sudah disepakati dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jenero 1992. Pembangunan
berkelanjutan yang disepakati dunia dibangun di atas 16 prinsip utama yang
salahsatu diantaranya adalah prinsip subsidiarity. Perinsip
subsidiarity, adalah keputusan yang
terbaik bagi pengelolaan lingkungan dibuat oleh tingkatan pemerintah
maupun kemasyarakatan yang paling
rendah.
Sebenarnya hak – hak masyarakat adat diakui dan telah
diatur dalam instrumen hukum konvensi ILO Nomor 109 tahun 1984 tentang
Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi
Asli Negara Merdeka, konvensi PBB
tentang Keanekaragaman Hayati (Ratifikasi UU No.5/1994), Perjanjian tentang Hak
–Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1996),
Deklarasi dan
Program Aksi Wina yang telah disetujui Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia
tanggal 25 Juni 1993 yang mengakui hak-hak masyarakat tradisionil, seperti di
bawah ini:
“ Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia mengakui martabat yang
inheren dan kontribusi unik dari masyarakat asli terhadap pembangunan serta
pluralitas masyarakat, dan dengan sangat menegaskan kembali komitment
masyarakat internasional terhadap kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya
mereka, serta untuk memungkinkan mereka menikmati hasil dari pembangunan yang
berkesinambungan.
Negara harus menjamin adanya partisipasi masyarakat asli
yang bebas dan seutuhnya dalam seluruh asfek masyarakat, terutama yang
menyangkut hal-hal yang menjadi kepedulian mereka. Dengan mempertimbangkan pentingnya pemajuan
dan perlindungan hak dari penduduk asli, serta konstribusi pemajuan dan
perlindungan tersebut terhadap stabilitas politik dan sosial di negara-negara
dimana masyarakat semacam itu berada, negara-negara harus sesuai dengan hukum
internasional, mengambil langkah-langkah bersama yang positif dalam menjamin
adanya penghormatan terhadap semua hak
asasi manusia dan kebebasan asasi dari penduduk asli, berdasarkan persamaan hak
dan non diskriminasi, serta mengakui nilai dan keanekaragaman dari identitas,
kebudayaan dan organisasi sosial mereka
yang berbeda”.
Demikian juga
terlihat pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pada pasal
27 dijelaskan :
“Di negara-negara dimana
terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang
yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoroitas tersebut tidak dapat
diingkari haknya, dalam, komunitas
bersama anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka
sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama
mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri”.
Dasar Hukum Nasional
Perangkat Hukum Nasional Indonesia yang “beradat” kembali mengakui masyarakat adat dengan hukum adatnya setelah dilakukan amandemen UUD 1945 pada pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Padahal lain, pasal 28-I ayat (3) : “Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Pada UUD 1945 (sebelum diamandemen) hanya pada penjelasan pasal 18.
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok –Pokok Agraria memberi pengakuan hak adatnya. “Hak
menguasai negara tersebut diatur
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah SWATANTRA masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut
ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”(pasal 2 ayat 4). Pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan – peraturan lain
yang lebih tinggi .
UU No.41 tahun
1999 tentang Kehutanan memberi pengakuan
atas keberadaan hukum adat atas hutan. Diantaranya di jelaskan : “Penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya , serta
tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional” (pasal 4 ayat 3). Hutan
ditetapkan sebagai hutan adat oleh
pemerintah sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya.
Hak-hak masyarakat adat atas hutan (pasal 67, ayat 1) berupa :
1.
melakukan pemungutan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
2.
melakukan kegiatan pengelolaan
hutan berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
3.
mendapat pemberdayaan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraannya.
UU No.27 th.2007
tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengakui dengan jelas
hak masyarakat adat atas pesisir dan pulau-puau kecil. Pada Pasal 61 ayat (1)
dijelaskan bahwa: “Pemerintah mengakui,
menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional,
dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah
dimanfaatkan secara turun – temurun”. Ayat (2): “Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan
Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan”.
Banyak perundangan yang mengakui
tentang masyarakat hukum adat seperti pada UU No.29 tahun 1999 Hak Asasi Manusia, ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya dan lain-lain
Defenisi Masyarakat Adat
Masyarakat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan asal usul leluhur, adanya hubungan yang
kuat dengan sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum ( Pasal-1).
Defenisi masyarakat lainnya adalah :
a
Masyarakat lokal adalah
kelompok masyarakat yang menjalankan tata
kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi
tidak sepenuhnya bergantung pada
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.
b
Masyarakat tradisionil adalah
masyarakat prikanan tradisionil yang
masih diakui hak tradisionilnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau
kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan pulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional .
Kewenangan Bidang Pesisir dan PPK
Perundang-undangan memberi kewenangan kepada masyarakat
adat untuk berperanserta dalam pengelolaan WP3K, yang meliputi kewenangan:
1.Peranserta Dalam Perencanaan
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri atas: (a) rencana strategis Wp3K, (b) rencana zonasi WP3K, (c) rencana
pengelolaan WP3K dan (d)
rencana aksi WP3K. Pemerintah daerah
dalam menyusun rencana pengelolaan WP3K
dengan melibatkan masyarakat berdasarkan
norma, standart dan pedoman dilakukan
melalui konsultasi publik dan/ atau musyawarah
adat baik formal maupun nonformal (pasal 7).
2. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (Hp3)
Hak pengusahaan perairan pesisir adalah hak pengusahaan air laut,
kolom air laut sampai permukaan dasar laut (pasal 16). HP-3 dapat diberikan kepada individu,
badan usaha dan masyarakat adat
selama 20 tahun yang dapat diperpanjang untuk kedua kalinya. Dalam pemberian
HP-3 wajib memperhatikan kepentingan kelestarian pesisir dan pulau-pulau kecil,
masyarakat adat dan kepentingan
ekonomi serta hak lintas damai bagi kapal
asing .Salah satu kewajiban
operasional pemegang hak HP-3 adalah: “(1) mengakui,
menghormati, dan melindungi hak-hak
masyarakat adat dan atau masyarakat
lokal, (2) memperhatikan hak masyarakat adat
untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai “.
Untuk pemamfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya yang telah
digunakan untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah atau Pemerintah Daerah menerbitkan HP-3 setelah melakukan musyawarah
dengan masyarakat yang bersangkutan.
3. Hak Pengawasan dn Pengendalian
Masyarakat mempunyai peran penting dalam pengawasan dan pengendalian
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
melalui (pasal 36):
(a) perencanaan pengelolaan
dengan berdasarkan adat budaya dan praktik-praktik yang lazim atau yang telah ada di dalam masyarakat,
(b) pelaksanaan
pengelolaan dengan memunculkan
kreativitas dan kemandirian dalam hal
jumlah dan variasi pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga
dapat meningkatkan aktvitas ekonomi di
tempat-tempat sebelumnya belum dapat dimamfaatkan, sehingga wilayah kegiatan
pengawasan dan pengendalian dapat diperluas,
(c) penyelesaian konflik
mengenai aturan - aturan baru yang sengaja dibuat oleh masyarakat karena
kebutuhan sendiri ataupun aturan-aturan yang difasilitasi oleh pemerintah.
4. Pengakuan Penyelesaian Sengketa Adat
Penyelesaian sengketa dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil ditempuh melalui pengadilan dan /atau di luar pengadilan
(pasal 64). Penyelesaian sengketa diupayakan untuk diselesaikan di luar
pengadilan, dilakukan para pihak dengan
cara konsultasi, penilaian ahli, negoisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase atau
melalui adat istiadat/kebiasaan/ kearifan
lokal. Penyelesaian sengketa di
luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu guna mencegah
terjadinya atau terulangnya dampak besar akibat tidak dilaksanakannya
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
5. Perlindungan Kawasan
Lindung Adat
Konservasi Wp3K untuk menjaga
kelestarian ekosistem, melindungi alur
migrasi ikan dan biota laut, melindungi habitat biota laut dan
melindungi situs budaya tradisional seperti tempat tenggelam kapal khusus,
situs sejarah kemaritiman, tempat ritual keagamaan atau adat. Kawasan konservasi
yang m emiliki ciri khas seperti wilayah yang diatur oleh adat tertentu
misalnya sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan atau istilah lain adat
tertentu (pasal 28). Pengusulan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat ataupun
Pemerintah / Pemerintah Daerah. ( misal
hutan mangrove Siage, terumbu karang silaia Kp.Sawah, Jago-jago?).
Penutup
Beranjak dari konsep otonomi daerah dan pengakuan atas
masyarakat adat lokal, maka pembangunan Indonesia seyogianya berbasis peran
serta masyarakat yang melibatkan masyarakat adat. Konsep pembangunan
partisipatif berbasis adat lokal ternyata telah terbukti berhasil dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan telah diadopsi
PBB pada 57 negara di dunia dalam bentuk hutan kemasyarakatan. Maka
selayaknya dalam tataran oprasional,
hak-hak masyarakat adat dan peranserta masyarakat adat dalam pengelolaan
sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi keharusan.********
*Disampaikan pada Workshop
Guru Pendamping Lomba Pengetahuan Lingkungan Hidup ke-VII dan Jambore
Pendidikan Lingkungan Hidup “Kemah Hijau”
tingkat Provinsi Sumatera Utara di Sibolangit tgl. 22-25 Juli 2008.
No comments:
Post a Comment