Tulisan “IPOP, Sertifikasi dan Kartel Sawit”, pada Sk.
Prestasi
Reformasi, No.507, tanggal 22
Desember 2016, hal.6, kol.1-7.
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
“Dan mereka berkata, “Jika kami mengikuti petunjuk bersama engkau, niscaya kami akan diusir dari negeri kami”. (Allah berfirman) Bukankah Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam tanah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) sebagai rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”(QS. Al-Qasas:57)
Tahun
2006, Indonesia berhasil menggusur Malaysia, sehingga menjadi negara produsen
sawit terbesar dengan produk 16 juta ton CPO. Dengan pertambahan luas lahan
mencapai 14 juta hektar pada tahun 2015, Indonesia mampu memproduksi CPO
mencapai 33 juta ton. Namun dibalik keberhasilan
memproduk CPO, perkebunan sawit dituding
“biang kerok” perusak hutan dan penghilangan
hak hidup masyarakat lokal. Tulisan ini,
kembali menyoroti perkebunan berkelanjutan khususnya menyoroti sertifikasi
perkebunan berkelanjutan.
Sertifikasi
IPOP
Tidak
ada yang salah dengan sertifikasi lingkungan. Sertifikasi lingkungan semestinya
menjadi keharusan, termasuk untuk
perkebunan sawit yang berwawasan lingkungan. Beranjak dari kondisi itu, maka
perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit
di Indonesia berkeinginan melakukan
praktek ramah lingkungan dalam aktifitas produksinya. Komitmen ini ditekan
dalam forum United Nation Climate Change Summit 2014 di New York, AS, September
2014 lalu, dengan membentuk lembaga
sertifikasi dengan membentuk Indonesia
Palm Oil Pledge (IPOP).
Sekarang
ini, terdapat enam perusahaan raksasa perkebunan kelapa sawit yang bergabung
dalam IPOP. Mereka adalah Golden Agri Resourches, Wilmar International,
Cargill, Asian Agri, Musim Mas dan Astra Agro Lestari. Group usaha penanda
tangan IPOP, menguasai 80 persen perdagangan kelapa sawit dunia dan 98 persen
perdagangan kelapa sawit di Indonesia. Sedaangkan menurut Sekretaris Jenderal
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)Sumatera Utara, Timbas
Ginting, sebanyak 70 persen minyak kelapa sawit mentah (CPO) dikuasai IPOP.
Secara garis besar,
dalam konteks lingkungan hidup IPOP
mengatur kebun sawit harus bebas
deforestasi, kebun sawit tidak di lahan gambut, kebun sawit tidak di lahan
berkarbon tinggi (high carbon stock/
HCS). Dalam konteks bisnis, anggota IPOP
dilarang membeli TBS/CPO dari
kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS (yang tidak memenuhi
keriteria IPOP). Pelaksanaan sertifikasi IPOP dan penolakan pembelian yang
tidak memenuhi standar IPOP sejak tahun 2015 lalu.
Dari segi lingkungannya,
nampaknya lebih bagus karena memiliki keriteria yang lebih baik dari keriteria
yang ditetapkan Kementerian Pertanian dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. IPOP mempertahankan hutan bernilai konservasi
tinggi (HCVF), hutan skunder dengan
tutupan baikdan hutan lahan gambut. Selain
menekankan keriteria deforestasi juga keriteria lahan (gambut) dan lahan yang
memiliki karbon tinggi. Namun disisi ekonomi, adanya peraturan untuk tidak
membeli tandan buah segar (TBS) dan CPO kelapa sawit yan tidak memenuhi
keriteria IPOP yang belum dipenuhi petani perkebunan sawit sekala kecil dan
menengah menyebabkan menyebabkan
kelumpuhan ekonomi petani dan dapat menimbulkan gejolak sosial.
Sertifiksi
ISPO
Sebelum adanya
sertifikasi IPOP, pemerintah telah meluncurkan sertifikasi perkebunan kelapa
sawit berkelanjutan, Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Sertifikasi ISPO
diperlukan untuk memastikan perusahaan
dan usaha perkebunan kelapa sawit menerapkan perkebunan sawit berkelanjutan.
Ada dua kategori
penerapan ISPO yaitu secara wajib dan secara sukarela. ISPO berlaku wajib
berlaku bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan usaha
terintegrasi antara kebun dan
pengolahan, usaha budidaya kelapa sawit dan usaha pengolahan hasil kelapa
sawit. ISPO berlaku sukarela bagi perkebunan sawit plasma (anak asuh perkebunan besar), perkebunan
kecil swadaya, dan perusahaan yang memproduksi kelapa sawit untuk energi terbarukan atau
biodiesel.
Sertifikasi
RSPO
Selain ISPO, terdapat
pula sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dari lembaga
internasional, Internasional Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Menurut Direktur RSPO-Indonesia, Desi Kusuma
Dewi, banyak negara-negara dunia baru akan membeli minyak sawit perkebunan
apabila perkebunan minyak sawit telah memenuhi sertifikat RSPO.
Sebagai gambaran umum, pada
tahun 2015 beberapa negara Eropa, seperti Belgia, Belanda, Perancis dan Swedia telah
mengharuskan sertifikasi RSPO untuk import minyak sawitnya. Pada tahun 2018 Denmark dan Norwegia hanya
menerima meminyak sawit berkelanjutan sertifikasi RSPO. Pada tahun 2020 seluruh negara Eropa
diharapkan sudah mengadopsi penggunaan minyak sawit bersertifikat RSPO.
Penolakan
IPOP
Sertifikasi ISPO dan
RSPO tidak mendapat penolakan yang tinggi bila dibanding dengan penolakan
sertifikasi IPOP untuk perkebunan kelapa sawit.
Penolakan bukanya hanya dari kalangan perkebunan sawit sekala kecil dan
menengah juga datang dari pemerintah dan lembaga independen seperti KPPU.
Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan menilai keriteria IPOP tidak realistis. Masalah utamanya,
keriteria bebas deforestasi dengan
memasukkan hutan yang tidak boleh dijadikan perkebunan kelapa sawit. Keriteria tersebut, melebihi ketentuan
pemerintah yang bisa mengorbankan pembangunana ekonomi. Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK San Afri Awang mengatakan,
kejadian itu disebabkan pembahasan IPOP tak melibatkan pemerintah sehingga putusan
IPOP malah melangkahi kewenangan pemerintah.
Pemerintah hanya
mengatur bahwa area yang dilarang untuk perluasan kebun kelapa sawit adalah
hutan primer dan lahan gambut, sedangkan lahan dengan belukar tua dan hutan
sekunder masih dibolehkan. Jaminan perlindungan ekosistem juga telah diatur
lewat ketentuan mempertahyankan hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF). Lewat
ketentuan HCVF tersebut, hutan skunder dengan tutupan baik diminta
dipertahankan.
Karena Keriteria IPOP lebih
tinggi dari keriteria ISPO, maka kendati perkebunan sawit memenuhi standar kebijakan
pemerintah (ISPO), tetapi tidak dapat memenuhi standar IPOP khususnya tentang HCS,
maka hasil perkebunan sawit yang sudah
ISPO kemungkinan besar tidak dapat dibeli oleh pengusaha raksasa perkebunan
sawit kelompok IPOP. Kebijakan ini jelas merugikan petani perkebunan sawit
sekala kecil dan menengah.
Disisi lain, IPOP
diduga hanya sarana pencitraan sebagai perusahaan peduli lingkungan. Pahal
perusahaan penandatangan belum menjalankan komitmen. Menurut Direktur Eksekutif
Greenomics Indonesia (pemantau IPOP), Vanda Mutia Dewi, menemukan sejumlah
penandatangan IPOP tetap bermitra dengan penyuplai yang tidak bebas deforestasi
Kartel
Sawit
Komisi Pengawasa
Persaingan Usaha menilai, implementasi IPOP berpotensi menjadi sarana kartel di
industri kelapa sawit. Hasil penelitian KPPU ini telah disampaikan kepada
pemangku kepentingan sejak Oktober 2015 lalu. Hasil penelitian ini disampaikan
KPPU melalui surat Nomor 184/K/X/2015 taggal 22 Oktober 2015. Surat itu
ditembuskan kepada Kementerian Pertanian, Kementerian Koordinator Perekonomian
dan DPR. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa IPOP bertentangan dengan UU No.5/1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. IPOP juga berpotensi mendistorsi pasar.
Menurut ketua KPPU
Muhammad Syarkawi Rauf, kemungikinan besar standar hanya ditetapkan oleh pelaku
usaha sendiri. Menurutnya, dalam penentuan standarisasi, kementerian terkait
seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak
dilibatkan. Jika hanya dilakukan pelaku usaha sendiri, hal itu dikhawatirkan akan menjadi penghambat bagi
pelaku usaha lain untuk masuk ke bisnis tersebut dan proses kartelisasi.
Pemberlakuan standar
yang tinggi oleh enam perusahaan raksasa kelapa sawit (IPOP) dapat menekan
harga kelapa sawit karena petani tidak memiliki akses penjualan. Pembelinya yang didominasi pedagang besar (IPOP) menekan
harga kelapa sawit petani.
Sturuktur industri
kelapa sawit sebelum IPOP-pun sudah tidak sehat. Tanpa IPOP-pun potensi kartel
sudah kuat karena segelintir perusahaan yang menguasai pangsa pasar. Dari 10,8
juta hektar perkebunan kelapa sawit hanya 4,6 juta hektar milik petani. Sebagaimana diketahui banyak pihak, bahwa
group-group usaha penanda tangan IPOP, menguasai 80 persen perdagangan kelapa
sawit dunia dan 98 persen di Indonesia. Sedaangkan menurut Sekretaris Jenderal
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)Sumatera Utara, Timbas
Ginting, sebanyak 70 persen minyak kelapa sawit mentah (CPO) dikuasai IPOP.
Pembubaran
IPOP
Kecurigaan kehadairan
IPOP dapat menyebabkan kerugian pada petani kecil dan menengah sudah terbukti.
Buktinya, dengan pelaksanaan sertifikasi IPOP telah menyebabkan harga sawit
ditingkat petani mengalami penurunan sebesar 10-15 persen. Penurunan harga
kelapa sawit 10-15 persen karena perkebunan kelapa sawit milik petani kecil dinilai tidak sesuai
dengan keriteria IPOP meski hanya sebagian lahan yang tidak memenuhi keriteria.
Oleh karena itu, Sekretaris
Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Asmar Arsyad telah meminta Kementerian Pertanian melarang
implementasi Indonesia Oil Palm Pledge
(IPOP). Penerapan sistem sertifikasi dinilai merugikan petani dan perusahaan
kecil karena menekan harga jual. Petani sawit dirugikan sejak implemantasi
IPOP. Sawit dari petani sering ditolak pabrik karena dinilai tidak sesuai IPOP,
akhirnya harga sawit petani menurun. Sebanyak 4,6 juta hektar atau 43 persen
dari total 10,8 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikelola
petani. Sekitar 3 juta petani bergantung pada enam perusahaan penandatangan
IPOP sebagai pembeli hasil.
Bila IPOP menyebabkan
kerugian pada petani, bila IPOP sebuah kartel perkebunan kelapa sawit, bila
IPOP hanya sebuah pencitraan, bila IPOP menyebabkan program pemerintah bidang
perkebunan terganggu, bila IPOP yang
didirikan swasta menabrak aturan pemerintah, bila IPOP melangkahi kewenangan
pemerintah maka semestinyna pemerintah tidak kalah. Oleh karena itu tidak
alasan untuk menolak membatalkan IPOP serta membenahi dunai persawitan untuk
kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan segelintir yang mengaku rakyat.
Setuju, kan..?
Nama : David J. H. Simarmata
ReplyDeleteNim : 18202076
Jurusan : Teknik Mesin
M.Kuliah : Pengendalian Lingkungan Industri
Menurut pendapat saya,
Indonesia saat ini sudah menjadi produsen sawit terbesar di dunia. Di Indonesia terdapat banyak perkebunan-perkebunan yang dimiliki oleh negara ataupun milik swasta, baik milik perusahaan besar, menengah, kecil dan perkebunan milik petani sendiri. Perkebunan sawit memang memiliki prokontra yang selalu bergejolak, seperti masalah lingkungan hidup. Banyak perkebunan sawit dibuka secara illegal dan dikelola tidak sesuai aturan.
Saat ini ada sertifikasi yang harus dimiliki perkebunan sawit di Indonesia agar bisa tembus ke pasar internasional untuk mendapatkan harga jual yang ditinggi. Dimana aturan itu mengatur tentang kondisi hutan/wilayah perkebunan dan cara pengelolaannya. Pemerintah harus juga bisa memberikan penyuluhan dan sertifikasi kepada perkebunan-perkebunan sawit di Indonesia agar mendapatkan hasil ekonomi yang lebih tinggi lagi.
Selain itu aturan-aturan yang mengatur perdagangan sawit di Indonesia harus dikuasai negara, jangan mau kalah dengan aturan swasta. Pemerintah harus bisa melindungi para petani kecil, jangan sampai Indonesia dikuasai oleh kartel-kartel pedagang sawit.
Nama : David J. H. Simarmata
ReplyDeleteNim : 18202076
Jurusan : Teknik Mesin
M.Kuliah : Pengendalian Lingkungan Industri
Menurut pendapat saya,
Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak sawit terbesar di dunia yang memiliki perkebunan sawit yang sangat luas. Perkebunan kelapa sawit memang berperan sebagai paru-paru dunia karena membantu mengurangi konsentrasi karbondioksida (CO2), tetapi disisi lain perkebunan sawit menghasilkan limbah cair hasil dari perebusan tandan buah segar. Limbah cair tersebut memiliki kandungan gas methana, yang menjadi salah satu gas rumah kaca (GRK) yang sangat berbahaya dibandingkan karbon dioksida (CO2) hasil dari pembakaran bahan bakar fosil.
Maka dari itu pemerintah harus mengawasi dan membuat peraturan masalah pengolahan limbah cair ini. Limbah cair ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu energi alternatif yang sangat berpotensi untuk dikembangkan dilihat dari begitu banyaknya perkebunan sawit yang dimiliki Indonesia. Hal itu dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang digunakan Indonesia.
Nama : David J. H. Simarmata
ReplyDeleteNim : 18202076
Jurusan : Teknik Mesin
M.Kuliah : Pengendalian Lingkungan Industri
Menurut pendapat saya,
Kenaikan suhu rata-rata global untuk saat ini memang sudah sangat menghawatirkan sekali. Kenaikan suhu rata-rata global menyebabkan mencairnya gunung-gunung es yang ada di Kutub Utara dan Kutub Selatan akibatnya permukaan air laut menjadi naik dan membuat keadaan iklim berubah-ubah. Hal ini berdampak juga pada Indonesia.
Indonesia memiliki banyak pulau-pulau kecil, dimana beberapa diantaranya pasti sudah ada yang tenggelam. Tidak dapat dipungkiri apabila pemanasan global ini terus berlanjut bisa menyebabkan semakin banyak daratan yang tenggelam di dunia ini. Mari sama-sama kita mengurangi sumber energi yang dapat menyebabkan pemanasan global dan mencari alternatif lain untuk menjaga bumi kita ini.
Nama : David J. H. Simarmata
ReplyDeleteNim : 18202076
Jurusan : Teknik Mesin
M.Kuliah : Pengendalian Lingkungan Industri
Menurut pendapat saya,
Pengelolaan masalah sampah yang diatur dalam peraturan daerah sudah dijelaskan tentang kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah yaitu oleh Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota. Pemerintah daerah harus melaksanakan sosialisasi dan penyuluhan dan memberitahukan hak-hak yang dimiliki masyarakat tentang pengelolaan sampah.
Aktifis lingkungan/organisasi-organisasi yang peduli terhadap pengelolaan sampah kiranya juga membantu mengatasi masalah sampah yang terjadi dan kiranya juga mengawasi pemerintah daerah tentang hak-hak yang dimiliki masyarakat tentang pengelolaan sampah.
Nama : Joshua Andreano Telaumbanua
ReplyDeleteNIM : 16202174
Kelas :EXTENTION
Jurusan : Teknik Mesin
Mata kuliah :PENGENDALIAN LINGKUNGAN INDUSTRI
Menurut pendapat saya,
Indonesia merupakan Negara terbesar produsen penghasil sawit terbesar di dunia. Manfaat perkebunan kelapa sawait sangat lah banyak bagi manusia seperti membantu mengurangi konsentrasi karbondioksida (CO2), tetapi disisi lain perkebunan sawit menghasilkan limbah cair hasil dari perebusan tandan buah segar. Perusahaan yang bergabung di IPOP kalau hanya untuk merugikan perkebunan kelapa sawit ,menaikkan harga kelapa sawit di masyarakat seharusnya aparat hukum melakukan tindakan tegas dengan pasal – pasal yang berlaku. Seharusnya saat ini sertifikat yang dimiliki perusahaan kelapa sawit di Indonesia sertifikat yang tidak merugikan Negara ataupun masyrakat, dan membuat harga yang bisa dijangkau oleh masyarakat seperti sertifikat ISPO dan RSPO. Seharusnya Pemerintah jangan mau kalah sama sertifikat – sertifikat yang didirkan oleh swasta dan Pemerintah harus bertindak tegas, Pemerintah harus melindungi pedagang – pedagang kecil jangan Indonesia dikuasin oleh kartel – kartel kelapa sawit yang akan terus menerus menekan pedagang kecil di Indonesia.