MK.KDV-2. SEJARAH KRIMINOLOGI


F. SEJARAH PERKEMBANGAN KRIMINOLOGI
Sudah banyak sarjana sebelumnya, seperti W. A. Bonger, W.F. Noach, Soedjono D., R. Soesilo, dan Simanjuntak telah menguraikan sejarah tentang kejahatan yang disebabkan oleh berbagai keadaan.
Di zaman kuno misalnya, plato dan Aristoteles sudah mengurai "keadaan ekonomi" sebagai penyebab munculnya pelaku kejahatan. Kendatipun demikian dari kedua tokoh tersebut, belum dapat dikatakan telah memperkenalkan kriminologi. Hanya memberikan uraian secara umum tentang penyebab kejahatan, yang selanjutnya ditekuni oleh generasi selanjutnya, seperti More dan Beccaria.

1. Zaman Kuno
Plato (427-347 SM) dalam bukunya Republiek telah mengemukakan bahwa emas, dan manusia merupakan sumber kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam suatu negara yang sebagian besar rakyatnya berada dalam kemiskinan, pasti bersarang secara diam-diam bajingan, tukang copet, dan penjahat lainnya. Dalam karya lainnya De Wetten, Plato juga mengemukakan: "jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat orang miskin dan tidak ada pula orang kaya, akan terdapat kesusilaan yang tinggi karena di situ tak akan ada rasa iri hati dan kelaliman."
Pengarang Yunani lain yaitu Aristoteles (384-322 S.M.), tokoh empirisme yang berbeda dari gurunya (Plato yang rasionalistik) memliki pandangan serupa. Dalam bukunya Politiek, ia mengemukakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi pula kelaliman, juga tidak ada rasa iri hati dan benci. Lebih lengkapnya bagi kedua filsuf tersebut, ajarannya memiliki pengaruh dalam lapangan hukum pidana, sebab dengan itu muncullah maxim: "hukuman dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat, tetapi agar jangan diperbuat kejahatan."
Kelihatannya ajaran Plato dan Aristoteles masih bersifat abstrak, akan tetapi tidak dapat dinafikan kalau pendapatnya demikian, masih memliki relevansi dengan kondisi hari ini. Walaupun hingga saat ini, belum ada perhatian mendalam yang menggunakan pendekatan sosio-kriminal untuk meneliti pengaruh prestise yang diukur berdasarkan kekayaan. Boleh jadi frekuensi pelaku tindak pidana korupsi yang tetap meningkat, disebabkan oleh keadaan berlomba-lombanya setiap orang menjadi kaya, oleh karena ukuran prestise disandarkan pada pemujaan "materi." Akhirnya, pada titik tertentu korupsi bukan didasari motif kebutuhan (by need), melainkan karena keserakahan (by greedy).

2. Zaman Abad Pertengahan
Thomas van Aquino (1226-127 4) mengemukakan pendapat tentang dampak kemiskinan atas kejahatan. Aquino berujar bahwa orang kaya yang hidup bermewah-mewah, hidup untuk kesenangan semata, boros, pada akhirnya jika jatuh miskin biasanya akan mudah menjadi pencuri (summaa contra gentiles). Titik poin yang menarik perhatian dari pengarang ini ialah summa theologica yang memberikan toleransi bagi pencuri dalam keadaan terpaksa.
Ajaran Aquino ini, sebenarnya bukan hal baru, sebab dalam suatu riwayat Umar bin Khatab di akhir tahun ke-18 Hijrah, pernah juga menerapkan "penghapusan pidana potong tangan" bagi pencuri karena terjadi musim kemarau panjang (paceklik). Kebenaran kejadian tersebut dapat ditelusuri melalui riwayat yang diceritakan oleh Qasim bin Abdurrahman:
"Bahwa ada seorang laki-laki yang mencuri harta Baitul Mal, lalu Sa'ad bin Abi Waqas menulis surat kepada Khalifah umor perihal lahi-lahi tersebut, umar pun membalas  surat Saad yang isinya pelarangan potong tangan bagi pencuri karena ia menganggap pencuri itu mempunyai hak terhadap harta Baitul Mal”.
Kiranya summa teologica-nya Aquino memiliki nuansa yang sama sebagaimana yang terdapat dalam Ruwai’i bin Rajah al-Ruhaili: Fiqh umar lbn Khaththab, Beirut, (Dar al Gharb al-lslami, 1403 H., juz l, hlm.291) yang mempermaklumkan:
"Borangsiapa yang mencuri dalam keadaan darurat hendaklah meninggalkan saksi karena terdapat perkara  yang syubhat dan hendaklah membolehkan  perkara  yong diharamkan kareno darurat (al-dhoruroh tubiihu al-mahdhuraat)."

3. Permulaan Sejarah Baru (Abad ke-I6)
Pada zaman ini, abad ke- 16, kriminologi mulai tertata rapi seiring dengan perkembangannya menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan kriminologi di abad ke-16 kerap pula dikatakan sebagai era baru kriminologi, karena munculnya kejahatan telah diteliti pada sebab musabab kemasyarakatan, sehingganya digolongkan sebagai era prakriminologi dalam arti sempit.
Terkait dengan itu, muncullah seorang ahli hukum humanistis Inggris yang mewarnai masa prakriminologi di bawah pemerintahan Hendrick VIII. Dialah Thomas More yang dapat dikatakan sebagai generasi pelanjut ajaran Plato. More selain ahli hukum, ia juga dikenal sebagai sosiograf, ahli kritik, dan roman sosialistis. Dalam magnus sosialistisnya, More menggambarkan suatu negara ketika alat-alat produksi dikuasai oleh umum. Inilah yang dimaksudkannya sebagai penduduk utopia, me-
lebihi semua bangsa di dunia dalam hal perikemanusiaan, kesusilaan dan kebajikan.
Apa yang menyebabkan More menganjurkan "alat-alat produksi" dikuasai oleh umum? Hal demikian sudah pasti memiliki hubungan erat dengan peningkatan kesejahteraan bagi publik (umum) yang akan mencegah atau minimal menekan angka kejahatan. Penekanan untuk kesejahteraan bagi publik yang digambarkan oleh More terverifikasi dengan pendapat selanjutnya ketika ia mengeritik model penghukuman yang terjadi dalam kurun waktu 24 tahun, dengan adanya 72.000 pencuri digantung dan hal tersebut terjadi di negara yang penduduknya berkisar 3 sampai 4 juta jiwa. Biarpun diberantas dengan kekerasan, arus kejahatan tidak berhenti. Untuk itu harus dicari
sebab musabab kejahatan dengan mengatasi dan juga menghilangkan sebab musabab kejahatan, yaitu ikhtiarkanlah agar orang memperoleh nafkah hidup yang cukup dan kejahatan akan berhenti.
Dalam kasus yang lain, More juga memberikan pernyataan yang cukup lugas dalam menunjukan kesejahteraan yangtidak merata, akan memicu orang menjadi jahat. Ia menceritakan bahwa sejak adanya exportwoldari Inggris ke Maaderen yang menguntungkan tuan tanah, banyak tanah pertanian dialihfungsikan menjadi tanah lapang untuk menggembala, untuk memelihara biri-biri. Akibatnya ribuan petani menggelandang tanpa mata pencaharian. Bertentangan dengan kesengsaraan rakyat jelata terhadap kemewahan si kaya yang merusak moral. Kekayaan dengan mudah punah dan orang- orang tersebut mudah berbuat jahat. Banyak anak-anak dari si miskin hidup dalam lingkungan yang tidak baik, dan dengan jalan ini menjadi penjahat.
Dalam keadaan itu, jika More mengecam hukuman yang terlalu kejam sungguh beralasan, sebab menghukum seseorang tidak boleh melupakan situasional ekonominya, hidup dalam keadaan papa cenderung berbuat jahat. Lebih jelasnya, bagi More setuju dijalankan hukuman, tetapi haruslah yang setimpal dengan perbuatannya. Tidak mungkin mencapai keadilan jika pencuri dan pembunuh harus menebus dosanya dengan sama-sama berakhir di tiang gantungan. Sebab, jika ada kejahatan yang relatif ringan dijatuhi hukuman yang berat, maka menambah bahaya akan dilakukan kejahatan yang lebih berat, karena untuk si penjahat, risiko hukuman sama. Dalam menelaah masalah hukuman bagi More, juga menganjurkan agar penjahat menebus kerugiannya, dapat dengan
cara dipekerjakan.
Usulan yang dianjurkan oleh More, agar memperkerjakan penjahat menjadi gambaran, kalau darinyalah yang memulai untuk menerapkan pula hukuman dalam bentuk tindakan. Walaupun perkembangan hukum pemidanaan saat ini, mempekerjakan narapidana dikombinasikan dengan hu-
kuman dalam bentuk sanksi pidana penjara.

4. Abad ke-18 hingga Revolusi Perancis
Pada abad ini mulailah ada penentangan terhadap hukum pidana. Hukum pidana sebelumnya ditujukan untuk menakut-nakuti dengan penjatuhan hukuman penganiayaan. Pribadi penjahat tidak mendapat perhatian sehingga acara pidana bersifat inquisitor. Pembuktian tergantung dari kemauan si pemeriksa dan pengakuan si tersangka. Keadaan ini mengundang reaksi. Reaksi terhadap ancient regime (rezim lama) memengaruhi hukum pidana dan hukum acara pidana. Hal yang mendasari koreksi atas penghukuman yang nirkemanusiaan tersebut yakni bersamaan dengan masa aufklarung (pencerahan), sehingga mulailah hak asasi manusia diperlakukan pula untuk si penjahat, dan rasa keadilan semakin diperhatikan.
Motesquieu (i689-1755) dalam bukunya Esprit de Lois (1748) menentang tindakan sewenang-wenang, hukuman yang kejam dan pidana berat yang banyak dijatuhkan. Oleh karena itu bagi Montesquieu mengharapkan agar bentuk perundang-undangan seyogyanya mengikhtiarkan pencegahan kejahatan daripada penghukuman. Kemudian Rousseau (17 12-1778) mengecam, mengadakan perlawanan tentang putusan-putusan pengadilan yang tidak adil terhadap perlakuan kejam kepada penjahat dan pemidanaan kepada penjahat yang tak berdosa.
Sepaham  dengan Rousseau, Voltaire (f649-f778) juga memberikan kecaman serupa, pada 1672 ia tampil sebagai pembela untuk Iean Calas yang tidak berdosa karena dijatuhi hukuman mati dan menentang terhadap peradilan pidana yang sewenang wenang itu. Tokoh lain yang terkenal dalam gerakan ini ialah C. Beccaria (I738-1794) dengan judul karangannya Crimine and Punishment (1764). Melalui karvanya tersetrut Beccaria meneguhkan dirinya sebagai pelopor reformasi sistent peradilan pidana yang  berusaha mencari  jalan  tengah dalam  dua fiksi hukum tata negara dan hukum pidana, yaitu kontrak sosial dan utilitas. Bagi Beccaria bahwa dipertahankannya "hukum" tidak lain untuk menjaga keutuhan kontrak sosial itu, sehingganva setiap orang termotivasi untuk mematuhinya.
Jelas-jelas Beccaria seorang penganut utilitarian, maka dari ittr sudah pasti ia menolak hukuman yang menggunakan pendekatan retributif (balas dendam). Tujuan diadakannya hukuman, yakni untuk mencegah orang lain dari melakukan kejahatan, juga mencegah penjahat tidak lagi mengulangi kejahatannya (residivis).
Dengan mengadaptasi teori asosiasi ide yang dicetuskan oleh David Hume dan David Hartley, Beccaria mengemukakan bahwa antara hukuman dan kejahatan merupakan dua asosiasi yang saling terkait. Dengan mempercepat hukuman atas munculnya kejahatan akan lebih cepat terhubung dengan pikiran seseorang. Pun dengan adanya percepatan hukuman akan menghalangi dampak terbesar kerugian yang ditimbulkannya.
Khusus untuk reformasi peradilan, Beccaria juga menganjurkan agar "hukum" Iahir dalam sebuah undang-undang untuk melindungi seseorang. Dalam sebuah ilustrasi yang dicontohkannya, ketentuan akan perlindungan terhadap kehormatan seseorang otomatis akan menghilangkan konflik
antarsesama.
Dalam ihwal perumusan undang-undang, Beccaria menekankan hukum yang jelas, konkret dalam menafsirkan kejahatan sehingga hakim tidak perlu lagi menafsirkan hukum, tetapi cukup memutuskan saja apakah hukum telah rusak. Hukuman hadir memang dalam keadaan benar-benar dibutuhkan dengan bertujuan menguatkan satu kesatuan masyarakat yang bernama kontrak sosial. OIeh karena itu, kejahatan terhadap orang atau praperql mestinyn dihukum sesuai dengan kejahatannya itu, misalnya kejahatan terhadap property dihukum dengan benda. Selanjutnya, cara terbaik mencegah kejahatan yakni dengan membuat undang-undang yang jelas dan sederhana, kebajikan pahala dan meningkatkan pendidikan.
Teknik penanggulangan kejahatan yang ditawarkan oleh Beccaria tampaknya terformat  dalam kombinasi pendekatan yuridis dengan pendekatan sosial (empiris). Di saat ia menekankan formulasi undang-undang yang jelas, di situlah ia menjadi seorang nomatif, akan tetapi positivisnya paham Beccaria tidak mengurangi pendapatnya untuk mengefektifkan pembinaan moral dan mental melalui pengajaran kepada setiap orang.
Selain Beccaria yang menjadi pelopor pemidanaan berskala utilitarian juga terdapat tokoh yang terkenal di Inggris, yaitu J. Bentham (17 48- 1832). Karya utamanya yaitu Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1780). Pada 1791, ahli moral ini juga telah menerbitkan suatu rencana pembuatan lembaga pemasyarakatan model baru yang dikenal dengan nama Panopticon or The Inspection House.
Terdapat kesamaan pendapat Bentham dengan mazhab sebelumnya, seperti More, yaitu pencegahan kejahatan harus diutamakan daripada menghukum, dan menyebutkan beberapa tindakan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan itu, seperti: minuman keras yang dianggap sebagai salah satu sebab yang utama dari kejahatan agresif, harus diberantas dengan menyadarkan masyarakat agar gemar olahraga, musik, dan sandiwara. Untuk memberantas kejahatan ekonomi ia
menunjukkan perlunya memelihara mereka yang tidakpunya mata pencaharian lagi, sebab jika tidak, mereka akan berbuat jahat dan nihil ancaman hukuman yang dapat menahannya.

5. Dari Revolusi Perancis hingga Abad ke-I9
Pada abad ke-19, terdapat tiga peristiwa penring langmewarnai perkembangan kriminologi dalam memberikan sumbangsih baik untuk reformasi hukum pidana (materiil dan formil), maupun penanggulangan kejahatan yang didasarkan pada sebab-musababnya, berikut beberapa peristiwa
tersebut.

a. Perubahan dalam Huhum Pidana
Perancis (179i) mengakhiri sistem hukum pidana lama. Code Penalnya disusun yang telah merumuskan dengan tegas kejahatan, dan tiap manusia sama di depan hukum. Hal ini berpengaruh ke negeri Belanda sehingga pada 1809 diadakan Het criminel wetboek uoor het Koningkrijk Holland. Juga Inggris dipengaruhi oleh I. Bentham menyusun KUH Pidana Inggris (1810). Keadaan lembaga pemasyarakatan di Inggris sangat buruk, tetapi di Netherland telah ada reorientasi. Di Amerika diadakan perubahan yang radikal (1791) dalam lembaga pemasyarakatan. Pada 1823, di New York diadakan sistem Auburn. Perbaikan ini belum menyeluruh, baru bersifat yuridis, suatu hal yang masih utopia ialah mempersamakan semua penjahat. Hal ini masih mendapat perlawanan karena
penjahat berbuat jahat tidak sama, dan logis bila tidak dipersamakan. Iklim baru benar-benar terjadi pada 1970-an di saat kriminologi benar-benar memberikan sumbangannya.

b. Sebab-sebab Sosial dari Kejahatan
Terkait dengan sebab sosial kejahatan, di era ini W. Gowin (1756-1836) mengemukakan adanya hubungan susunan masyarakat dengan kejahatan. C.H. Hall (1739-1819) mengkritik keadaan sosial yang pincang dari kaum buruh sebagai akibat industrialisasi. T.H. Hodsgskin (1787-1869) dan
R. Owen (1771-1858) memberi pandangan baru. R. Owen mengemukakan dalam bukunya The Book of the New Moral World (1844): bahwa lingkungan yang tidak baik membuat kelakuan seseorang menjadi jahat, dan lingkungan yang baik sebaliknya. Timbullah semboyan: "ubahlah keadaan masya-
rakat dan anggota-anggotanya akan berubah pula ,,. Jika tiap orang dididik dengan baik serta cukup untuk hidup, taraf moral akan naik, maka dengan sendirinya hukuman menjadi tidak perlu lagi.

c. Sebab-sebab Psihiatri Antropologis dari Kejahatan
Pada masa ini orang gila masih diperlakukan seperti penjahat. Penjahat yang mempunyai kemauan bebas, free will), sedang orang gila sebelumnya tidak memiliki kemauan bebas untuk memilih perbuatan baik atau buruk, tetapi berkat lahirnya ilmu psikiatrik mulailah ada perubahan. Jasa mulia seorang dokter Perancis P.h Pinel (lZ54-1826), penulis Traite Medico-philosophique sur I'alienation Mentale yang memperkenalkan ilmu baru ini. Berkat usahanya, nasib orang gila mendapat perbaikan, hingga pada akhirnya dalam pasal 64 Code Penal ditambahkan ketentuan yang berbunyi: Tidklah terdapat suatu hejahatan apabila si terdakwa berada dalam sakit jiwa.
Selanjutnya, yang menjadi pelapor antropologi kriminal, yakni tokoh peyakin Phrenology, F. I Gall (1758-1828). Dia merup akan ahli phrenology  yang berpendapat bahwa kelainan pada otak (antropologis) menyebabkan orang jadi jahat. Ada juga P. Broca (1824-1880) yang mengemukakan bahwa benjolan pada tengkorak (antropologis) dapat menjadi petunjuk kalau orang tersebut memiliki cikal bakal melakukan kejahatan.
Baik pendapat Gall maupun Broca banyak mendapat kritikan, di antaranya: pertama, bahwa kecenderungan untuk mencuri ataukecenderungan minuman keras bukan merupakan fungsi. Kedua, kelainan luar dari tengkorak yang kadang-kadang terlihat hanyalah suatu hal yang kebetulan semata.
Kendatipun ajaran antropologi kriminal mendapat penolakan, tidak dapat dimungkiri kalau teorinya itu juga telah memberi sumbangsih dalam kriminologi, sebab adanya pengungkapan dalam keadaan "probabilitas" bahwa dalam otak para penjahat ada kelainan bila dibandingkan dengan otak orang-orang yang lainnya.

5. Abad ke-20
Di abad ke-20 kriminologi mengalami perkembangan sebagai kelanjutan pemikiran pemikiran sebelumnya, ada yang menolak kejahatan sebagai pembawaan sejak lahir, ada pula yang menambahkan selain faktor fisik yang mengurai sebab kejahatan, juga disebabkan oleh kondisi lingkungannya. Pelbagai aliran tersebut, selanjutnya diuraikan berikut ini.

a. Aliran Positif
Matza, sebagai mazhab positif mengidentifikasi karakteristik kejahatan dalam perspektif penanggulangan, di antaranya:
1) Mengutamakan pelaku kejahatan dari hukum pidana.
2) Tingkah laku manusia ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan dan fisik (Hagan, 1987).
3) Pelaku kejahatan sangat berbeda dengan yang bukan pelaku kejahatan.

b. Aliran Hukum dan Kejahatan
Sejak 1960-an perhatian kriminolog dalam pembentukan hukum pidana memperoleh peranan kembali. Peranan hukum sangat penting dalam menentukan pengertian kejahatan. Pelopor dari aliran ini, di antaranya:
1) Sutherland mengemukakan: Criminal behavior is behavior in  violetion of a criminal law;
2) Nettler (1984) mengemukakan: A crime is an intentional violation of criminal law;
3) Tappen (1960) mengamukakan: Crime is an intenational act or omission of criminal law;
4) Mannhein (1965) mengemukakan kalau kejahatan adalah konsep yuridis, tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana.

c. Aliran Social Defence
Mazhab social defence dipelopori oleh Judge Marc Ancel (Paris, 1954), yang mengemukakan pendapatnya tentang penyebab kejahatan sebagai berikut:
1) Tidak bersifat deterministik;
2) Tidak menyetujui tipologi kejahatan;
3) Memiliki keyakinan akan nilai-nilai kesusilaan;
4) Menolak dominasi ilmu pengetahuan modern dan menghendaki diganti dengan politik kriminal.

G. PERBANDINGAN KRIMINOLOG! DAN HUKUM PIDANA
Kriminologi dan hukum pidana memiliki kesamaan, juga memiliki perbedaan, itulah sebabnya selanjutnya dikatakan sebagai perbandingan, berikut masing-masing persamaan
dan perbedaannya.
1. Persamaan: Baik kriminologi maupun hukum pidana mengandung unsur-unsur persamaan, yaitu:
a. Kedua-duanya memiliki objek kajian kejahatan;
b. Kedua-duanya sama-sama mengupayakan pencegahan kejahatan.
2. Perbedaan:
a. Kriminologi: ingin mengetahui apa latar belakang seseorang melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Mr. X melakukan kejahatan ( Why has Mr X Commitmet Crime?). Kukum pidana: ingin mengetahui apakah Mr. X telah melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah: apakah Mr. X telah melakukan kejahatan (has Mr. X commited crinte);
b. Hukum pidana menetapkan terlebih dahulu seseorang sebagai penjahat, baru langkah berikutnya giliran kriminologi meneliti mengapa seseorang itu melakukan kejahatan;
c.  Kriminologi: memberi bahan dalam perumusan perundang- undangan pidana. Hukum pidana: pengertian kejahatan telah dirumuskan (dikodifikasikan) dalam KUH Pidana.

H. MANFAAT MEMPELAJARI KRIMINOLOGI
Kejahatan sudah dikenal sejak adanya peradaban manusia. Makin tinggi peradaban, makin banyak aturan, dan makin banyak pula pelanggaran. Sering disebut bahwa kejahatan merupakan bayangan peradaban (crime is a shadow of civilization). Kejahatan membawa penderitaan dan kesengsaraan, mencucurkan darah dan air mata. Peredaran gelap narkotika telah menghancurkan harapan masa depan dari jutaan anak remaja. Kejahatan kerah putih menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan yang pada gilirannya menimbulkan banjir, kekeringan yang berkepanjangan, dan akhirnya membawa akibat hilangnya nyawa, rusaknya harta benda dan kerugian yang tak terhitung banyaknya.
Maka seiring dengan perkembangan zaman, kejahatan berada dalam modus operandi baru, kriminologi tidak berarti berhenti dalam menganalisis penyebab dari jenis kejahatan baru tersebut. Kriminologi tetap memberikan sumbangsihnya dalam penyusunan perundang-undangan baru (proses kriminalisasi), menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan (ethiology criminal) yang pada akhirnya menciptakan upayaupaya pencegahan terjadinya kejahatan (criminal prevention).
Tidak dapat disangkal kriminologi telah membawa manfaat yang tak terhingga dalam mengurangi penderitaan ummat manusia, dan inilah yang merupakan tujuan utama mempelajari kriminologi. Secara sederhana, manfaat mempelajari kriminologi dapat digolongkan dalam tiga sasaran utama, meliputi:
1. Bagi pribadi: dengan memahami perbuatan manusia yang melakukan kejahatan, karena berkolerasi dengan berbagai faktor dan sebab-musabab, seseorang kemudian akan bijak dan mengalami keinsafan diri kalau pada sesungguhnya orang yang berbuat jahat di sekitarnya
bukan "dimusnahkan" tetapi perlu pembinaan agar tidak lagi mengulangi kejahatannya. Seorang yang menjadi korban kejahatan, tanpa berpikir panjang, boleh jadi akan menghabisi atau menuntaskan dendamnya kepada penjahat itu. Adapun kalau ia mengetahui sebab-musababnya orang berbuat jahat kepadanya, ia tidak akan main hakim sendiri, tetapi mempercayakan kepada "negara" agar memproses si penjahat dalam wadah pemidanaan;
2. Bagi masyarakat: kalau sudah dapat diprediksi calon-calon penjahat di masa mendatang berkat penelitian kriminologi, sehingga dari awal dapat diambil langkah pre-emtif dan preventif untuk menanggulanginya, maka tertatalah kehidupan sosial tanpa gangguan kejahatan. Tentu upaya penanggulangan kejahatan dapat melibatkan aparat penegak hukum yang mengerti pendekatan
kriminologi sehingga dapat mengambil langkah-langkah yang terarah guna mencegah terjadinya kejahatan.
3. Bagi akademisi: kriminologi yang dipahami sebagai "the body of knowledge" memanfaatkan berbagai disiplin ilmu sebagai pendekatan studi kejahatan, maka manfaatnya tidak hanya menjadi milik kriminolog, tetapi juga ahli lain (antropolog, sosiolog, dan psikolog), jadilah pengayaan ilmu yang akan memperluas horizon pandangan tentang fenomena kejahatan sebagai gejala sosial. Bahkan dengan hasil penelitian yang menggunakan pendekatan kriminologi akan memberikan sumbangsih berharga untuk perumusan dan pembentukan perundang-undangan guna menanggulangi penjahat berstatus residivis, atau calon-calon penjahat berikutnya. Contoh yang relevan untuk manfaat yang seperti ini, dapat diamati melalui UU Narkotika atas saran berbagai pihak, bagi pecandu narkotika perlu diadakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial kepadanya. Sudah pasti dengan kajian kriminologi dapat mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkotika, si pecandu tidak boleh dipandang sebagai "penjahat lagi" tetapi sebagai "korban" yang harus mendapatkan perawatan dari negara.
Contoh lain lagi, dengan kerja sama kriminologi dan psikologi dapat memberikan pertimbangan kepada seorang anak yang melakukan kejahatan, sebab "daya pikir" yang masih lemah, masih dalam pencarian identitas, maka hukuman yang tepat bagi anak nakal (anak berkonflik hukum) lebih diutamakan mediasi antarpihak, sekeras-kerasnya hukuman hanya berupa tindakan (pembinaan dan pemeliharaan) dari pada pemidanaan "penjara."
Demikianlah manfaat yang dapat diperoleh dalam mempelajari kriminologi yang tidak lagi terperangkap dalam semboyan "science for science" tetapi " science fot the welfare society." Oleh Romli Atmasasmita ( 1 992) bahkan menambahkannya sebagai "science for the interest of the power elite." Masih menurut Romli Atmasasmita yang sepaham dengan pendapat Marc Ancel (la defence sociale):
"Bahwa kriminologi di abad he-20 ini harus menjadi kontrol sosial terhadap kebijakan dalam pelaksanaan hukum pidana. Dengan perkataan lain kriminologi mengemban peran yang antisipatif dan reaktif terhadap semua hebijakan terhadap semua hebijakan di lapangan hukum pidana, sehingga dengan demikian dapat dicegoh kemungkinon timbutnyo akibat-akibat yang merugikan baik bagi pelaku, korban hejahatan, mupun masyaralat secara keseluruhan”.
Manfaat kriminologi bukan hanya dalam lapangan hukum pidana, melainkan aplikasi keilmuannya dapat menyebar dalam berbagai kepentingan. Dalam hal perencenaan proyek pendirian bangunan, kriminologi akan memperhatikan aspek security, terutama dari gangguan kejahatan, maka akan dilengkapilah biaya perencanaan melalui biaya keamanan dan kesejahteraan dari orang yang ditugasi sebagai penjaga keamanan. Tanpa kita sadari, sebenarnya pemasangan "kamera tersembunyi" di setiap ATM, bank, pertokoan, mal, hotel, tidak lain dari pengembangan kriminologi yang mengupayaken penanggulangan kejahatan melalui deteksi dini.

Sumber:
A.S.Alam dan Amir Ilyas.2018. Kriminologi Suatu Pengantar. Prenadamedia Group. Jakarta  (hal.12-27)  


LEMBAR KERJA

Tuliskan jawaban pada laman komentar  bahan kuliah ini dengan menyebutan nama, Nim, dan mata kuliah diambil.
1.Sejarah perkembangan kriminilogi zaman kuno?
2.Sejarah perkembangan kriminilogi abad pertengahan?
3.Sejarah perkembangan kriminilogi abad ke-16?
4.Sejarah perkembangan kriminilogi abad ke-18?
5.Sejarah perkembangan kriminilogi abad ke-19?
6.Jelaskan perbedaan krimninilogi dengan hukum pidana?
7.Apa manfaat mempelajari kriminilogi?
 

6 comments:

  1. Nama. : Rocky Al'amin
    Nim. :18202948(4m2)
    Teknik mesin

    1.Plato (427-347 SM) dalam bukunya Republiek telah mengemukakan bahwa emas, dan manusia merupakan sumber kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam suatu negara yang sebagian besar rakyatnya berada dalam kemiskinan, pasti bersarang secara diam-diam bajingan, tukang copet, dan penjahat lainnya. Dalam karya lainnya De Wetten, Plato juga mengemukakan: "jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat orang miskin dan tidak ada pula orang kaya, akan terdapat kesusilaan yang tinggi karena di situ tak akan ada rasa iri hati dan kelaliman."
    2.Ajaran Aquino ini, sebenarnya bukan hal baru, sebab dalam suatu riwayat Umar bin Khatab di akhir tahun ke-18 Hijrah, pernah juga menerapkan "penghapusan pidana potong tangan" bagi pencuri karena terjadi musim kemarau panjang (paceklik). Kebenaran kejadian tersebut dapat ditelusuri melalui riwayat yang diceritakan oleh Qasim bin Abdul Rahman
    3.zaman ini, abad ke- 16, kriminologi mulai tertata rapi seiring dengan perkembangannya menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan kriminologi di abad ke-16 kerap pula dikatakan sebagai era baru kriminologi, karena munculnya kejahatan telah diteliti pada sebab musabab kemasyarakatan, sehingganya digolongkan sebagai era prakriminologi dalam arti sempit.
    Terkait dengan itu, muncullah seorang ahli hukum humanistis Inggris yang mewarnai masa prakriminologi di bawah pemerintahan Hendrick VIII. Dialah Thomas More yang dapat dikatakan sebagai generasi pelanjut ajaran Plato. More selain ahli hukum, ia juga dikenal sebagai sosiograf, ahli kritik, dan roman sosialistis. Dalam magnus sosialistisnya, More menggambarkan suatu negara ketika alat-alat produksi dikuasai oleh umum. Inilah yang dimaksudkannya sebagai penduduk utopia, me-
    lebihi semua bangsa di dunia dalam hal perikemanusiaan, kesusilaan dan kebajikan.
    4.Dengan mengadaptasi teori asosiasi ide yang dicetuskan oleh David Hume dan David Hartley, Beccaria mengemukakan bahwa antara hukuman dan kejahatan merupakan dua asosiasi yang saling terkait. Dengan mempercepat hukuman atas munculnya kejahatan akan lebih cepat terhubung dengan pikiran seseorang. Pun dengan adanya percepatan hukuman akan menghalangi dampak terbesar kerugian yang ditimbulkannya.
    5.abad ke-19, terdapat tiga peristiwa penring langmewarnai perkembangan kriminologi dalam memberikan sumbangsih baik untuk reformasi hukum pidana (materiil dan formil), maupun penanggulangan kejahatan yang didasarkan pada sebab-musababnya, berikut beberapa peristiwa
    tersebut.
    6.a. Kriminologi: ingin mengetahui apa latar belakang seseorang melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Mr. X melakukan kejahatan ( Why has Mr X Commitmet Crime?). Kukum pidana: ingin mengetahui apakah Mr. X telah melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah: apakah Mr. X telah melakukan kejahatan (has Mr. X commited crinte);
    b. Hukum pidana menetapkan terlebih dahulu seseorang sebagai penjahat, baru langkah berikutnya giliran kriminologi meneliti mengapa seseorang itu melakukan kejahatan;
    7.Bagi pribadi: dengan memahami perbuatan manusia yang melakukan kejahatan, karena berkolerasi dengan berbagai faktor dan sebab-musabab, seseorang kemudian akan bijak dan mengalami keinsafan diri kalau pada sesungguhnya orang yang berbuat jahat di sekitarnya
    bukan "dimusnahkan" tetapi perlu pembinaan agar tidak lagi mengulangi kejahatannya. Seorang yang menjadi korban kejahatan, tanpa berpikir panjang, boleh jadi akan menghabisi atau menuntaskan dendamnya kepada penjahat itu. Adapun kalau ia mengetahui sebab-musababnya orang berbuat jahat kepadanya, ia tidak akan main hakim sendiri, tetapi mempercayakan kepada "negara" agar memproses si penjahat dalam wadah pemidanaan

    ReplyDelete
  2. NAMA : RAJA DOLI PRASETIAWAN RITONGA
    NIM : 18202078
    KELAS : 4 M 2
    JURUSAN : MESIN
    1.Plato (427-347 SM) dalam bukunya Republiek telah mengemukakan bahwa emas, dan manusia merupakan sumber kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam suatu negara yang sebagian besar rakyatnya berada dalam kemiskinan, pasti bersarang secara diam-diam bajingan, tukang copet, dan penjahat lainnya. Dalam karya lainnya De Wetten, Plato juga mengemukakan: "jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat orang miskin dan tidak ada pula orang kaya, akan terdapat kesusilaan yang tinggi karena di situ tak akan ada rasa iri hati dan kelaliman."
    2.Ajaran Aquino ini, sebenarnya bukan hal baru, sebab dalam suatu riwayat Umar bin Khatab di akhir tahun ke-18 Hijrah, pernah juga menerapkan "penghapusan pidana potong tangan" bagi pencuri karena terjadi musim kemarau panjang (paceklik). Kebenaran kejadian tersebut dapat ditelusuri melalui riwayat yang diceritakan oleh Qasim bin Abdul Rahman
    3.zaman ini, abad ke- 16, kriminologi mulai tertata rapi seiring dengan perkembangannya menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan kriminologi di abad ke-16 kerap pula dikatakan sebagai era baru kriminologi, karena munculnya kejahatan telah diteliti pada sebab musabab kemasyarakatan, sehingganya digolongkan sebagai era prakriminologi dalam arti sempit.
    Terkait dengan itu, muncullah seorang ahli hukum humanistis Inggris yang mewarnai masa prakriminologi di bawah pemerintahan Hendrick VIII. Dialah Thomas More yang dapat dikatakan sebagai generasi pelanjut ajaran Plato. More selain ahli hukum, ia juga dikenal sebagai sosiograf, ahli kritik, dan roman sosialistis. Dalam magnus sosialistisnya, More menggambarkan suatu negara ketika alat-alat produksi dikuasai oleh umum. Inilah yang dimaksudkannya sebagai penduduk utopia, me-
    lebihi semua bangsa di dunia dalam hal perikemanusiaan, kesusilaan dan kebajikan.
    4.Dengan mengadaptasi teori asosiasi ide yang dicetuskan oleh David Hume dan David Hartley, Beccaria mengemukakan bahwa antara hukuman dan kejahatan merupakan dua asosiasi yang saling terkait. Dengan mempercepat hukuman atas munculnya kejahatan akan lebih cepat terhubung dengan pikiran seseorang. Pun dengan adanya percepatan hukuman akan menghalangi dampak terbesar kerugian yang ditimbulkannya.
    5.abad ke-19, terdapat tiga peristiwa penring langmewarnai perkembangan kriminologi dalam memberikan sumbangsih baik untuk reformasi hukum pidana (materiil dan formil), maupun penanggulangan kejahatan yang didasarkan pada sebab-musababnya, berikut beberapa peristiwa
    tersebut.
    6.a. Kriminologi: ingin mengetahui apa latar belakang seseorang melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Mr. X melakukan kejahatan ( Why has Mr X Commitmet Crime?). Kukum pidana: ingin mengetahui apakah Mr. X telah melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah: apakah Mr. X telah melakukan kejahatan (has Mr. X commited crinte);
    b. Hukum pidana menetapkan terlebih dahulu seseorang sebagai penjahat, baru langkah berikutnya giliran kriminologi meneliti mengapa seseorang itu melakukan kejahatan;
    7.Bagi pribadi: dengan memahami perbuatan manusia yang melakukan kejahatan, karena berkolerasi dengan berbagai faktor dan sebab-musabab, seseorang kemudian akan bijak dan mengalami keinsafan diri kalau pada sesungguhnya orang yang berbuat jahat di sekitarnya
    bukan "dimusnahkan" tetapi perlu pembinaan agar tidak lagi mengulangi kejahatannya. Seorang yang menjadi korban kejahatan, tanpa berpikir panjang, boleh jadi akan menghabisi atau menuntaskan dendamnya kepada penjahat itu. Adapun kalau ia mengetahui sebab-musababnya orang berbuat jahat kepadanya, ia tidak akan main hakim sendiri, tetapi mempercayakan kepada "negara" agar memproses si penjahat dalam wadah pemidanaan.

    ReplyDelete
  3. Nama. :Daniel Rama Setiawan Situmorang
    Nim. :18202074 (4m2)
    Jurusan : Teknik Mesin

    1.Plato (427-347 SM) dalam bukunya Republiek telah mengemukakan bahwa emas, dan manusia merupakan sumber kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam suatu negara yang sebagian besar rakyatnya berada dalam kemiskinan, pasti bersarang secara diam-diam bajingan, tukang copet, dan penjahat lainnya. Dalam karya lainnya De Wetten, Plato juga mengemukakan: "jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat orang miskin dan tidak ada pula orang kaya, akan terdapat kesusilaan yang tinggi karena di situ tak akan ada rasa iri hati dan kelaliman."

    2.Ajaran Aquino ini, sebenarnya bukan hal baru, sebab dalam suatu riwayat Umar bin Khatab di akhir tahun ke-18 Hijrah, pernah juga menerapkan "penghapusan pidana potong tangan" bagi pencuri karena terjadi musim kemarau panjang (paceklik). Kebenaran kejadian tersebut dapat ditelusuri melalui riwayat yang diceritakan oleh Qasim bin Abdul Rahman

    3.zaman ini, abad ke- 16, kriminologi mulai tertata rapi seiring dengan perkembangannya menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan kriminologi di abad ke-16 kerap pula dikatakan sebagai era baru kriminologi, karena munculnya kejahatan telah diteliti pada sebab musabab kemasyarakatan, sehingganya digolongkan sebagai era prakriminologi dalam arti sempit.
    Terkait dengan itu, muncullah seorang ahli hukum humanistis Inggris yang mewarnai masa prakriminologi di bawah pemerintahan Hendrick VIII. Dialah Thomas More yang dapat dikatakan sebagai generasi pelanjut ajaran Plato. More selain ahli hukum, ia juga dikenal sebagai sosiograf, ahli kritik, dan roman sosialistis. Dalam magnus sosialistisnya, More menggambarkan suatu negara ketika alat-alat produksi dikuasai oleh umum. Inilah yang dimaksudkannya sebagai penduduk utopia, me-
    lebihi semua bangsa di dunia dalam hal perikemanusiaan, kesusilaan dan kebajikan.

    4.Dengan mengadaptasi teori asosiasi ide yang dicetuskan oleh David Hume dan David Hartley, Beccaria mengemukakan bahwa antara hukuman dan kejahatan merupakan dua asosiasi yang saling terkait. Dengan mempercepat hukuman atas munculnya kejahatan akan lebih cepat terhubung dengan pikiran seseorang. Pun dengan adanya percepatan hukuman akan menghalangi dampak terbesar kerugian yang ditimbulkannya.

    5.abad ke-19, terdapat tiga peristiwa penring langmewarnai perkembangan kriminologi dalam memberikan sumbangsih baik untuk reformasi hukum pidana (materiil dan formil), maupun penanggulangan kejahatan yang didasarkan pada sebab-musababnya, berikut beberapa peristiwa
    tersebut.

    6.a. Kriminologi: ingin mengetahui apa latar belakang seseorang melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Mr. X melakukan kejahatan ( Why has Mr X Commitmet Crime?). Kukum pidana: ingin mengetahui apakah Mr. X telah melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah: apakah Mr. X telah melakukan kejahatan (has Mr. X commited crinte);
    b. Hukum pidana menetapkan terlebih dahulu seseorang sebagai penjahat, baru langkah berikutnya giliran kriminologi meneliti mengapa seseorang itu melakukan kejahatan;

    7.Bagi pribadi: dengan memahami perbuatan manusia yang melakukan kejahatan, karena berkolerasi dengan berbagai faktor dan sebab-musabab, seseorang kemudian akan bijak dan mengalami keinsafan diri kalau pada sesungguhnya orang yang berbuat jahat di sekitarnya
    bukan "dimusnahkan" tetapi perlu pembinaan agar tidak lagi mengulangi kejahatannya. Seorang yang menjadi korban kejahatan, tanpa berpikir panjang, boleh jadi akan menghabisi atau menuntaskan dendamnya kepada penjahat itu. Adapun kalau ia mengetahui sebab-musababnya orang berbuat jahat kepadanya, ia tidak akan main hakim sendiri, tetapi mempercayakan kepada "negara" agar memproses si penjahat dalam wadah pemidanaan

    ReplyDelete
  4. Nama: Togap Siagian
    Nim:18202067
    Kelas:4m2
    1.Plato (427-347 SM) dalam bukunya Republiek telah mengemukakan bahwa emas, dan manusia merupakan sumber kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam suatu negara yang sebagian besar rakyatnya berada dalam kemiskinan, pasti bersarang secara diam-diam bajingan, tukang copet, dan penjahat lainnya. Dalam karya lainnya De Wetten, Plato juga mengemukakan: "jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat orang miskin dan tidak ada pula orang kaya, akan terdapat kesusilaan yang tinggi karena di situ tak akan ada rasa iri hati dan kelaliman."
    2.Ajaran Aquino ini, sebenarnya bukan hal baru, sebab dalam suatu riwayat Umar bin Khatab di akhir tahun ke-18 Hijrah, pernah juga menerapkan "penghapusan pidana potong tangan" bagi pencuri karena terjadi musim kemarau panjang (paceklik). Kebenaran kejadian tersebut dapat ditelusuri melalui riwayat yang diceritakan oleh Qasim bin Abdul Rahman
    3.zaman ini, abad ke- 16, kriminologi mulai tertata rapi seiring dengan perkembangannya menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan kriminologi di abad ke-16 kerap pula dikatakan sebagai era baru kriminologi, karena munculnya kejahatan telah diteliti pada sebab musabab kemasyarakatan, sehingganya digolongkan sebagai era prakriminologi dalam arti sempit.
    Terkait dengan itu, muncullah seorang ahli hukum humanistis Inggris yang mewarnai masa prakriminologi di bawah pemerintahan Hendrick VIII. Dialah Thomas More yang dapat dikatakan sebagai generasi pelanjut ajaran Plato. More selain ahli hukum, ia juga dikenal sebagai sosiograf, ahli kritik, dan roman sosialistis. Dalam magnus sosialistisnya, More menggambarkan suatu negara ketika alat-alat produksi dikuasai oleh umum. Inilah yang dimaksudkannya sebagai penduduk utopia, me-
    lebihi semua bangsa di dunia dalam hal perikemanusiaan, kesusilaan dan kebajikan.
    4.Dengan mengadaptasi teori asosiasi ide yang dicetuskan oleh David Hume dan David Hartley, Beccaria mengemukakan bahwa antara hukuman dan kejahatan merupakan dua asosiasi yang saling terkait. Dengan mempercepat hukuman atas munculnya kejahatan akan lebih cepat terhubung dengan pikiran seseorang. Pun dengan adanya percepatan hukuman akan menghalangi dampak terbesar kerugian yang ditimbulkannya.
    5.abad ke-19, terdapat tiga peristiwa penring langmewarnai perkembangan kriminologi dalam memberikan sumbangsih baik untuk reformasi hukum pidana (materiil dan formil), maupun penanggulangan kejahatan yang didasarkan pada sebab-musababnya, berikut beberapa peristiwa
    tersebut.
    6.a. Kriminologi: ingin mengetahui apa latar belakang seseorang melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Mr. X melakukan kejahatan ( Why has Mr X Commitmet Crime?). Kukum pidana: ingin mengetahui apakah Mr. X telah melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah: apakah Mr. X telah melakukan kejahatan (has Mr. X commited crinte);
    b. Hukum pidana menetapkan terlebih dahulu seseorang sebagai penjahat, baru langkah berikutnya giliran kriminologi meneliti mengapa seseorang itu melakukan kejahatan;
    7.Bagi pribadi: dengan memahami perbuatan manusia yang melakukan kejahatan, karena berkolerasi dengan berbagai faktor dan sebab-musabab, seseorang kemudian akan bijak dan mengalami keinsafan diri kalau pada sesungguhnya orang yang berbuat jahat di sekitarnya
    bukan "dimusnahkan" tetapi perlu pembinaan agar tidak lagi mengulangi kejahatannya. Seorang yang menjadi korban kejahatan, tanpa berpikir panjang, boleh jadi akan menghabisi atau menuntaskan dendamnya kepada penjahat itu. Adapun kalau ia mengetahui sebab-musababnya orang berbuat jahat kepadanya, ia tidak akan main hakim sendiri, tetapi mempercayakan kepada "negara" agar memproses si penjahat dalam wadah pemidanaan

    ReplyDelete
  5. Nama. :Muhammad Saini
    Nim. :18202056 (4m2)
    Jurusan : Teknik Mesin

    1.Plato (427-347 SM) dalam bukunya Republiek telah mengemukakan bahwa emas, dan manusia merupakan sumber kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam suatu negara yang sebagian besar rakyatnya berada dalam kemiskinan, pasti bersarang secara diam-diam bajingan, tukang copet, dan penjahat lainnya. Dalam karya lainnya De Wetten, Plato juga mengemukakan: "jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat orang miskin dan tidak ada pula orang kaya, akan terdapat kesusilaan yang tinggi karena di situ tak akan ada rasa iri hati dan kelaliman."

    2.Ajaran Aquino ini, sebenarnya bukan hal baru, sebab dalam suatu riwayat Umar bin Khatab di akhir tahun ke-18 Hijrah, pernah juga menerapkan "penghapusan pidana potong tangan" bagi pencuri karena terjadi musim kemarau panjang (paceklik). Kebenaran kejadian tersebut dapat ditelusuri melalui riwayat yang diceritakan oleh Qasim bin Abdul Rahman

    3.zaman ini, abad ke- 16, kriminologi mulai tertata rapi seiring dengan perkembangannya menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan kriminologi di abad ke-16 kerap pula dikatakan sebagai era baru kriminologi, karena munculnya kejahatan telah diteliti pada sebab musabab kemasyarakatan, sehingganya digolongkan sebagai era prakriminologi dalam arti sempit.
    Terkait dengan itu, muncullah seorang ahli hukum humanistis Inggris yang mewarnai masa prakriminologi di bawah pemerintahan Hendrick VIII. Dialah Thomas More yang dapat dikatakan sebagai generasi pelanjut ajaran Plato. More selain ahli hukum, ia juga dikenal sebagai sosiograf, ahli kritik, dan roman sosialistis. Dalam magnus sosialistisnya, More menggambarkan suatu negara ketika alat-alat produksi dikuasai oleh umum. Inilah yang dimaksudkannya sebagai penduduk utopia, me-
    lebihi semua bangsa di dunia dalam hal perikemanusiaan, kesusilaan dan kebajikan.

    4.Dengan mengadaptasi teori asosiasi ide yang dicetuskan oleh David Hume dan David Hartley, Beccaria mengemukakan bahwa antara hukuman dan kejahatan merupakan dua asosiasi yang saling terkait. Dengan mempercepat hukuman atas munculnya kejahatan akan lebih cepat terhubung dengan pikiran seseorang. Pun dengan adanya percepatan hukuman akan menghalangi dampak terbesar kerugian yang ditimbulkannya.

    5.abad ke-19, terdapat tiga peristiwa penring langmewarnai perkembangan kriminologi dalam memberikan sumbangsih baik untuk reformasi hukum pidana (materiil dan formil), maupun penanggulangan kejahatan yang didasarkan pada sebab-musababnya, berikut beberapa peristiwa
    tersebut.

    6.a. Kriminologi: ingin mengetahui apa latar belakang seseorang melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Mr. X melakukan kejahatan ( Why has Mr X Commitmet Crime?). Kukum pidana: ingin mengetahui apakah Mr. X telah melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah: apakah Mr. X telah melakukan kejahatan (has Mr. X commited crinte);
    b. Hukum pidana menetapkan terlebih dahulu seseorang sebagai penjahat, baru langkah berikutnya giliran kriminologi meneliti mengapa seseorang itu melakukan kejahatan;

    7.Bagi pribadi: dengan memahami perbuatan manusia yang melakukan kejahatan, karena berkolerasi dengan berbagai faktor dan sebab-musabab, seseorang kemudian akan bijak dan mengalami keinsafan diri kalau pada sesungguhnya orang yang berbuat jahat di sekitarnya
    bukan "dimusnahkan" tetapi perlu pembinaan agar tidak lagi mengulangi kejahatannya. Seorang yang menjadi korban kejahatan, tanpa berpikir panjang, boleh jadi akan menghabisi atau menuntaskan dendamnya kepada penjahat itu. Adapun kalau ia mengetahui sebab-musababnya orang berbuat jahat kepadanya, ia tidak akan main hakim sendiri, tetapi mempercayakan kepada "negara" agar memproses si penjahat dalam wadah pemidanaan

    ReplyDelete
  6. NAMA : ardiansah sitepu
    NIM : 18202047
    KELAS : 4M2
    JURUSAN : T.MESIN

    1.Plato (427-347 SM) dalam bukunya Republiek telah mengemukakan bahwa emas, dan manusia merupakan sumber kejahatan. Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia, makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalam suatu negara yang sebagian besar rakyatnya berada dalam kemiskinan, pasti bersarang secara diam-diam bajingan, tukang copet, dan penjahat lainnya. Dalam karya lainnya De Wetten, Plato juga mengemukakan: "jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat orang miskin dan tidak ada pula orang kaya, akan terdapat kesusilaan yang tinggi karena di situ tak akan ada rasa iri hati dan kelaliman."

    2.Ajaran Aquino ini, sebenarnya bukan hal baru, sebab dalam suatu riwayat Umar bin Khatab di akhir tahun ke-18 Hijrah, pernah juga menerapkan "penghapusan pidana potong tangan" bagi pencuri karena terjadi musim kemarau panjang (paceklik). Kebenaran kejadian tersebut dapat ditelusuri melalui riwayat yang diceritakan oleh Qasim bin Abdul Rahman

    3.zaman ini, abad ke- 16, kriminologi mulai tertata rapi seiring dengan perkembangannya menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan kriminologi di abad ke-16 kerap pula dikatakan sebagai era baru kriminologi, karena munculnya kejahatan telah diteliti pada sebab musabab kemasyarakatan, sehingganya digolongkan sebagai era prakriminologi dalam arti sempit.
    Terkait dengan itu, muncullah seorang ahli hukum humanistis Inggris yang mewarnai masa prakriminologi di bawah pemerintahan Hendrick VIII. Dialah Thomas More yang dapat dikatakan sebagai generasi pelanjut ajaran Plato. More selain ahli hukum, ia juga dikenal sebagai sosiograf, ahli kritik, dan roman sosialistis. Dalam magnus sosialistisnya, More menggambarkan suatu negara ketika alat-alat produksi dikuasai oleh umum. Inilah yang dimaksudkannya sebagai penduduk utopia, me-
    lebihi semua bangsa di dunia dalam hal perikemanusiaan, kesusilaan dan kebajikan.

    4.Dengan mengadaptasi teori asosiasi ide yang dicetuskan oleh David Hume dan David Hartley, Beccaria mengemukakan bahwa antara hukuman dan kejahatan merupakan dua asosiasi yang saling terkait. Dengan mempercepat hukuman atas munculnya kejahatan akan lebih cepat terhubung dengan pikiran seseorang. Pun dengan adanya percepatan hukuman akan menghalangi dampak terbesar kerugian yang ditimbulkannya.

    5.abad ke-19, terdapat tiga peristiwa penring langmewarnai perkembangan kriminologi dalam memberikan sumbangsih baik untuk reformasi hukum pidana (materiil dan formil), maupun penanggulangan kejahatan yang didasarkan pada sebab-musababnya, berikut beberapa peristiwa
    tersebut.

    6.a. Kriminologi: ingin mengetahui apa latar belakang seseorang melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Mr. X melakukan kejahatan ( Why has Mr X Commitmet Crime?). Kukum pidana: ingin mengetahui apakah Mr. X telah melakukan kejahatan. Pertanyaan yang timbul adalah: apakah Mr. X telah melakukan kejahatan (has Mr. X commited crinte);
    b. Hukum pidana menetapkan terlebih dahulu seseorang sebagai penjahat, baru langkah berikutnya giliran kriminologi meneliti mengapa seseorang itu melakukan kejahatan;

    7.Bagi pribadi: dengan memahami perbuatan manusia yang melakukan kejahatan, karena berkolerasi dengan berbagai faktor dan sebab-musabab, seseorang kemudian akan bijak dan mengalami keinsafan diri kalau pada sesungguhnya orang yang berbuat jahat di sekitarnya
    bukan "dimusnahkan" tetapi perlu pembinaan agar tidak lagi mengulangi kejahatannya. Seorang yang menjadi korban kejahatan, tanpa berpikir panjang, boleh jadi akan menghabisi atau menuntaskan dendamnya kepada penjahat itu. Adapun kalau ia mengetahui sebab-musababnya orang berbuat jahat kepadanya, ia tidak akan main hakim sendiri, tetapi mempercayakan kepada "negara" agar memproses si penjahat dalam wadah pemidanaan.

    ReplyDelete