E. KEJAHATAN
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
Berbeda dengan teori-teori
sebelumnya, teori-teori sosiologi mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal
angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikeIompokkan
menjadi tiga kategori umum, yaitu:
a. Anomie (ketiadaan norma) atau strain (ketegangan);
b. Cultural deviance (penyimpangan budaya);
c. Social control (kontrol sosial).
Teori anomie dan penyimpangan
budaya, memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang
menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Teori ini
berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku
kriminal saling berhubungan.
Para penganut teori anomie
beranggapan bahwa seluruh anggota nrasyarakat mengikuti seperangkat nilai-nilai
budaya, yaitu nilai-nilai budaya kelas menengah, yakni adanya
anggapan bahwa nilai budaya terpenting adalah
keberhasilan dalam ekonomi. Hal ini disebabkan orang-orang kelas bawah tidak
mempunyai sarana-sarana yang sah (legitimate means) untuk mencapai tujuan
tersebut, seperti gaji tinggi, bidang usaha yang maju. Mereka menjadi frustrasi
dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah (illegitimate means).
Sangat berbeda dengan teori anomie, teori penyimpangan
budaya mengklaim bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki seperangkat
nilai-nilai yang berbeda, cenderung berkonflik dengan nilai-nilai kelas
menengah. Sebagai konsekuensinya, ketika orang-orang kelas bawah mengikuti sistem
nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional
dengan cara mencuri, merampok, dan sebagainya.
Dalam perspektif sosiologis,
Walter Luden kemudian mengemukakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya
kejahatan, terutama pada negara yang sedang berkembang, di antaranya:
a. Gelombang urbanisasi remaja dari desa ke kota-kota
jumlahnya cukup besar dan sukar dicegah;
b. Terjadi konflik antara norma adat pedesaan tradisional dengan
norma-norma baru yang tumbuh dalam proses dan pergeseran sosial yang cepat,
terutama di kota-kota besar;
c. Memudarnya pola-pola keperibadian individu yang terkait
kuat pada pola kontrol sosial tradisionalnya, sehingga anggota masyarakat
terutama remajanya menghadapi " samarpola" (ketidaktaatan pada pola)
untuk menentukan perilakunya.
1. Beberapa Tokoh dalam Teori Anomie
Durkheim, Robert Merton, Cloward,
Ohlin, dan Cohen dalam memandang kejahatan sebagai gejala sosial disebabkan
oleh struktur sosial yang mengalami perubahan, sehingga seseorang tidak mampu
beradaptasi dengan iingkungannya. Iadilah ia penjahat yang akan merusak tata
norma, tertib sosial. Hal ini disebabkan oleh "nilai-nilai kebaikan"
tidak mengendap lagi dalam dirinya.
a. Emile Durhheim
Ahli sosiologi Perancis, Emile
Durkheim (1858-1917), menekankan pada apa yang disebut "normlessness,
lessens social control.". Normlessness, lessens social control adalah
mengendornya pengawasan dan pengendalian sosial yang berpengaruh terhadap
terjadinya kemerosotan moral, pada akhirnya menyebabkan individu sukar menyesuaikan
diri dalam perubahan norma, bahkan kerapkali terjadi konflik norma dalam
pergaulan.
Dikemukakan oleh Durkheim, bahwa
trendsosial dalam masyarakat industri perkotaan modern mengakibatkan perubahan
norma, kebingungan dan berkurangnya kontrol sosial atas individu.
Individualisme meningkat dan timbul berbagai gaya hidup baru, yang besar
kemungkinan menciptakan kebebasan yang lebih luas di samping meningkatkan
kemungkinan perilaku yang menyimpang, seperti kebebasan seks di kalangan anak
muda.
Salah satu cara dalam mempelajari
masyarakat, yakni dengan melihat pada bagian-bagian komponennya, dalam usaha
mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Ringkasnya,
pengamatan harus ditujukan kepada struktur suatu masyarakat, guna melihat
bagaimana ia berfungsi.
Jika masyarakat itu stabil,
bagian-bagiannya beroperasi secara lancar, susunan-susunan sosial berfungsi
dengan baik. Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerja sama, dan
kesepakatan. Sebaliknya, jika bagian-bagian komponennya tertata dalam keadaan
yang membahayakan keteraturan atau ketertiban sosial, susunan masyarakat itu
menjadi disfunctional (tidak berfu ngsi).
Menurut Durkheim, penjelasan
tentang perbuatan manusia tidak terletak pada diri si individu, tetapi terletak
pada kelompok dan organisasi sosial. Dalam konteks inilah Durkheim
memperkenalkan istilah anomie sebagai hancurnya keteraturan sosial sebagai
akibat hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai.
Anomie dalam teori Durkheim juga dipandang
sebagai kondisi yang mendorong sifat individualistis (memenangkan diri sendiri,
egois) sehingga cenderung melepaskan pengendalian sosial. Keadaan ini akan
diikuti dengan perilaku menyimpang dalam pergaulan masyarakat.
Durkheim meyakini bahwa jika
sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju ke suatu masyarakat yang modern
dan kota, maka kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan
seperangkat norma-norma umum (a common set of rules) akan merosot. Seperangkat
aturan-aturan umum, tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang di satu sektor
mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain, sistem tersebut
secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi anomie. Ilustrasi
terbaik dari konsep Durkheim, yakni dalam salah satu diskusi tentang bunuh diri
(suicide) yang terjadi di Pe-
rancis, dan bukan tentang kejahatan. Ketika Durkheim
menganalisis data statistik, ia mendapati bahwa angka bunuh diri meningkat
selama perubahan ekonomi yang tiba-tiba (sudden economic change), baik
perubahan itu depresi hebat ataupun kemakmuran yang tidak terduga. Dalam
periode perubahan cepat tersebut, orang tiba-tiba terhempas ke dalam satu cara atau
jalan hidup yang tidak dikenal (unfamiliar), sehingganya aturan-aturan (rules)
yang pernah membimbing tingkah laku tidak lagi dipegang.
Riset Durkheim tentang "
suicide" dilandasi pada asumsi bahwa rata-rata bunuh diri yang terjadi di
masyarakat sebagai tindakan akhir atau puncak dari suatu anomie, bervariasi
atas dua keadaan sosial, yaitu social
integration dan social deregulation. Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa
keadaan terendah atau tertinggi dari tingkat integrasi dan regulasi akan mengakibatkan
tingginya angka rata-rata bunuh diri. Dalam bagan, hipotesis Durkheim tampak
sebagai berikut:
Social Conditions
|
High
|
low
|
Social Integration
|
Alturism
|
Egoism
|
Social Regulation
|
Fatalism
|
Anomie
|
Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicide berasal dari kondisi sosial yang
menekan (strain, stres), yaitu:
a. Deregulasi kebutuhan atau
anomie,
b. Regulasi yang keterlaluan atalu
fatalism;
c. Kurangnya integrasi struktural
atat egoism;
d. Proses sosialisasi dari seorang individu
kepada suatu nilai budaya "altruistic" yang mendorong bersangkutan
untuk melakukan bunuh diri. (Hipotesis ke-4 ini bukan termasuk teori stres).
Durkheim mempercayai bahwa hasrat-hasrat
manusia adalah tidak terbatas. Oleh karena alam tidak mengatur batas-batas
biologis yang ketat untuk kemampuan manusia sebagaimana ia mengatur makhluk
lain seperti binatang-binatang, menurut Durkheim, kita telah mengembangkan aturan-aturan
sosial yang meletakkan suatu takaran yang realistis di atas aspirasi-aspirasi
kita. Aturan-aturan ini menyatu dengan kesadaran individu dan membr4ptnya
menjadi merasa terpenuhi. Akan tetapi, dengan satu ledakan kemakmuran yang
tiba-tiba, harapan-harapan orang menjadi berubah. Manakala aturan-aturan lama
tidak lagi menentukan bagaimana ganjaran atau penghargaan didistribusikan
kepada anggota-anggota masyarakat itu, maka di sana sudah tidak ada lagi pengekang
atau pengendali atas apa yang orang inginkan.
b. Robert K. Merton
Robert K. Merton dalam "
Social Theory and Social Structure" pada 1957 yang berkaitan dengan teori
anomie Durkheim, mengemukakan bahwa anomie adalah satu kondisi ketika tujuan
tidak tercapai oleh keinginan dalam interaksi sosial. Dengan kata lain: "anomie is a gap between goals and means
creates deviance." Konsep Merton tentang anomie agak berbeda dengan konsep
Durkheim. Bagi Merton, Masalah sesungguhnya tidak diciptakan oleh sudden social
change, tetapi oleh social structure yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama
untuk
mencapainya.
Teori anomie dari Merton
menekankan pentingnya dua unsur penting di setiap masyarakat, yaitu cultural aspiration atatr
culture goals dan institutionalized means atau accepted ways. Selanjutnya,
disparitas antara tujuan dan sarana inilah yang memberikan tekanan (strain). Berdasarkan
perspektif tersebut, struktur sosial merupakan akar dari masalah kejahatan (a
structural explanation).Teori ini berasumsi bahwa orang taat hukum dan semua
orang dalam masyarakat memiliki tujuan yang sama
(meraih kemakmuran), akan tetapi dalam tekanan besar mereka akan melakukan
kejahatan. Keinginan untuk meningkat secara so-
sial (social mobility) membawa pada penyimpangan,
karena struktur sosial yang membatasi akses menuju tujuan melalui legitimate
means (pendidikan tinggi, bekerja keras, dan konek-
si keluarga). Anggota dari kelas bawah terbebani
sebab mereka memulai jauh di belakang dan mereka benar-benar haruslah orang
yang penuh talenta. Situasi seperti inilah yang dapat
menimbulkan konsekuensi sosial berupa penyimpangan.
Dalam suatu masyarakat menurut
pandangan Merton teIah melembaga suatu cita-cita (goals) untuk mengejar sukses semaksimal
mungkin, umumnya diukur dari harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Untuk
mencapai sukses tersebut, masyarakat sudah menetapkan cara-cara (means) tertentu
yang diakui dan dibenarkan untuk ditempuh seseorang. Meskipun demikian pada
kenyataannya tidak semua orang mencapai cita-cita dimaksud melalui legitimated
means (mematuhi hukum). Oleh karena itu, terdapat individu yang berusaha
mencapai cita-cita dimaksud melalui cara melanggar undang-undang (illegitimated
means). Pada umumnya, mereka yang melakukan illegitimated means tersebut
berasal dari masyarakat kelas bawah dan golongan minoritas. Ketidaksamaan
kondisi sosial yang ada di masyarakat disebabkan proses terbentuknya masyarakat
itu sendiri, yang menurut pandangan Merton, struktur masyarakat demikian adalah anomistis. Individu dalam keadaan masyarakat
anomistis selalu dihadapkan pada adanya tekanan (psikologis) atau strain (ketegangan)
karena ketidakmampuan untuk mengadaptasi aspirasi sebaik-baiknya, walaupun
dalam kesempatan yang sangat terbatas.
Pada saat Merton pertama menulis
artikelnya, "Social Structure and
Anomie", teori mengenai
penyimpangan tingkah laku dimaksud abnormal. Oleh karena itu, penjelasannya terletak
pada individu pelakunya. Berbeda dengan pendapat teori-teori tersebut, Merton justru
mencoba mengemukakan bagaimana struktur masyarakat mengakibatkan tekanan yang
begitu kuat pada diri seseorang di dalam masyarakat sehingga ia melibatkan
dirinya ke dalam tingkah laku yang menyimpang.
Merton mengemukakan bentuk
kemungkinan penyesuaian atau adaptasi bagi anggota masyarakat untuk mengatasi strain
(mode of adoptation), sebagai
berikut:
a. Conformity, merupakan perilaku yang terjadi manakala tujuan
dan cara yang sudah ada di masyarakat, diterima dan melalui sikap itu seseorang
mencapai keberhasilan;
b. Innovation, terjadi ketika masyarakat beralih menggunakan
illegitimate means atau sarana-sarana yang tidak sah jika mereka menemui
dinding atau halangan terhadap sarana yang sah untuk menemui sukses ekonomi
tersebut;
c. Rirualism, adanya penyesuaian diri dengan norma-norma yang
mengatur instutionalized means, dan hidup dalam batas-batas rutinitas hidup
sehari-hari (pasrah); d. Retreatism, mencerminkan mereka yang terlempar dari kehidupan
kemasyarakatan (mengucilkan diri);
e. Rebbelion, adaptasi orang-orang yang tidak hanya menolak,
tetapi iuga berkeinginan untuk mengubah sistem yang ada (demonstrasi).
c. Cloward dan Ohlin
Teori anomieversi Cloward dan
Ohlin menekankan adanya " differential opportunity” dalam kehidupan dan
struktur masyarakat. Pendapat Cloward dan Ohlin dimuat dalam karya
"delinquency and opportunity," b ahwa para kaum muda kelas bawah akan
cenderung memilih satu tipe subkultural lainnya (gang) yang sesuai dengan
situasi anomie dan tergantung pada adanya struktur peluang melawan hukum dalam lingkungan
mereka.
d. Cohen
Teori anomie Cohen disebut Lower
Class Reaction Theory. Inti teori ini, bahwa delinkuensi timbul dari reaksi
kelas bawah terhadap nilai-nilai kelas menengah yang dirasakan
oleh remaja kelas bawah sebagai tidak adil dan harus
dilawan.
e. Kritih Terhadap Teori Anomie
Traub dan Little (1975) memberikan
kritiknya: "teori anomietampaknya beranggapan bahwa di setiap masyarakat terdapat
nilai-nilai dan norma-norma yang dominan yang diterima sebagian besar
masyarakatnya, dan teori ini tidak menjelaskan secara memadai mengapa hanya
individu-individu tertentu dari golongan masyarakat bawah yang melakukan
penyimpangan. Analisis Merton sama sekali tidak mempertimbangkan aspek-aspek
interaksi pribadi untuk menjadi deuiant dan juga tidak memperhatikan hubungan
erat antara kekuatan sosial dengan kecenderungan bahwa seseorang akan
memperoleh cap secara formal sebagai deviant.
Demikian halnya dengan Cullen
(1983) juga mengemukakan beberapa kritik terhadap teori anomie, sebagai
berikut:
a. Durkheim tidak secara jelas merinci sifat dari
keadaan sosial yang sedang terjadi. Sekalipun Durkheim mengemukakan
pengertian-pengertian umum dengan menunjuk pada istilah " common ideas,
beliefs, customs, tendencies, and opinions," namun pengertian-pengertian
tersebut tampak berdiri sendiri dan bersifat eksternal dari kesadaran individu;
b. Durkheim tidak konsisten dalam menjelaskan
bagaimana "current anomy" menyebabkan bunuh diri. la sekuran g-
kurangnya telah men gaitkan c urrent ano my kep ada bunuh diri, bahwa kejadian-kejadian
yang tiba-tiba seperti perceraian dan kemakmuran yang mendadak cenderung
mengakibatkan bunuh diri; c. Dalam seluruh tulisannya tentang suicide, Durkheim
ti-
dak berhasil membahas bagaimana kondisi sosial dapat membentuk penyimpangan
tingkah laku di dalam masyarakat.
2. Teori-teori Penyimpangan Budaya
(Cultural Deviance Theories)
Cultural deviance theories
terbentuk antara 1925 dan 1940. Teori penyimpangan budaya ini memusatkan
perhatian kepada kekuatan-kekuatan sosial (soclal forceg yang menye-
babkan orang melakukan aktivitas kriminal. Cultural
deuiance theories memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas
pada lower c/ass. Proses penyesuaian diri dengan sistem nilai kelas bawah yang
menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh, menyebabkan
benturan dengan hukum-hukum masyarakat. Tiga teori
utama dari cultural deuiance theories, yailrt: social disorganization,
differential association, cultural conflict.
o. Social Disorganization Theory
Social disorganization theory
memfokuskan diri pada perkembangan area-area angka kejahatannya tinggi yang
berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional akibat industrialisasi
yang cepat, peningkatan imigrasi, dan urbanisasi. Thomas dan Znaniecky
mengaitkan hal ini dengan social disorganization (disorganisasi sosial), yaitu:
the breakdown of
effectiue
social bonds, family and neighborthood association, and social controls in
neighborhoods and communities (tidak berlangsungnya ikatan sosial, hubungan
kekeluargaan, lingkungan, dan kontrol-kontrol sosial di dalam lingkungan dan komunitas).
Menurut Thomas dan Znaniecky,
bahwa lingkungan yang disorganized secara sosial, ketika nilai-nilai dan
tradisi konvensional tidak ditransmisikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Hal ini dapat diamati dalam kehidupan anak-anak yang dibesarkan di
daerah pedesaan dengan budaya dan adat yang masih kental, kemudian mereka
melanjutkan sekolah ke daerah perkotaan yang penuh dengan kebebasan dalam
pergaulan, maka pada akhirnya menjadikan mereka mengenal narkoba, minuman keras
dan seks bebas.
Park dan Burgess mengembangkan
lebih lanjut studi tentang sosiai disorganization dari Thomas dan Znaniecky dengan
mengintroduksi analisis ekologis dari masyarakat manusia. Pendekatan yang kurang lebih sama digunakan
para sarjana yang mengkaji human ecology (ekologi manusia), yaitu interelasi
antara manusia dengan lingkungannya. Dalam studinya, Park dan Burgess meneliti
karakteristik daerah yang terdiri atas zona-zona konsentrasi. Setiap zona
memiliki struktur dan organisasinya sendiri, karakteristik
budaya serta penghuni yang unik.
Selanjutnya, Cliford Shaw dan Henry Mckdey
dengan menggunakan penduduk yang tersebar di ruang-ruang berbeda untuk meneliti
secara empiris hubungan antara angka kejahatan dengan ruang-ruang yang berbeda
misalnya, daerah kumuh, pusat kota, daerah perdagangan dan sebagainya. Hasil
temuannya disimpulkan bahwa faktor paling krusial (me-
nentukan) bukanlah etnisitasi, melainkan posisi
kelompok di dalam penyebaran status
ekonomi dan nilai-nilai budaya. Hal ini kemudian menunjukkan bahwa cultural
transmition adalah: " delinquency
was socially learned behavior transmitted from one generation to the next
generation in disorganized urban areas" (delinquency adalah perilaku
sosial yang dipelajari,
dipindahkan dari generasi satu ke generasi berikutnya
pada
lingkungan kota yang tidak teratur).
Contoh konkret yang dapat menjadi
gambaran dari pendapat Cliford Shaw dan Henry Mckdey dapat diamati dalam kehidupan
masyarakat Bugis yang sudah terbiasa membawa senjata tajam berupa badik sebagai
senjata tradisional masyarakat dan dilakukan secara turun-temurun, padahal ini
merupakan tindak pidana.
Pun dalam perkembangannya ternyata
social disorganization theorymendapatkan sejumlah kritik, di antaranya:
a. Terlalu tergantung pada data resmi yang sangat
mungkin mencerminkan ketidaksukaan polisi pada lingkungan kumuh;
b. Terlalu terfokus pada bagaimana pola-pola
kejahatan ditransmisikan, bukan pada bagaimana ia dimulai pertama kali;
c. Tidak dapat menjelaskan mengapa delinquency
berhenti dan tidak berhenti;
d. Menjadi kejahatan begitu mereka beranjak besar;
e. Mengapa banyak orang di daerah yang" socially
disorganized" tidak melakukan perbuatan jahat;
f. Tidak menerangkan delinquencydi kalangan kelas
menengah.
b. Differential Association
Sutherland mencetuskan teori yang
disebul differential association theory sebagai teori penyebab kejahatan' Ada 9
(sembilan) proporsi dalam menjelaskan teori tersebut, sebagai berikut:
a. Criminal
behauior is learned (tingkah laku kriminal dipelajari);
b. Criminal
behauior is learned in interaction with other person in a process of
communication (tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang
lain dalam proses komunikasi);
c. The
principle part of the learning of criminal behauior occurs within intimate personal
groups (bagian terpenting dalam mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi
di dalam kelompok-kelompok orang yang intim atau dekat);
d. When
criminal behauior is learned, the learning includes techniques of committing
the crime, which are sometimes uery complicated, sometimes uery simple and the
specific
direction
of motiues, driues, rationalizations, and attitude (ketlka tingkah laku kriminal
dipelajari, pelajaran itu termasuk teknik-teknik melakukan kejahatan, kadang-kadang
sangat sulit, kadang-kadang sangat mudah, arah khusus dan motif-motif,
dorongan-dorongan, rasionali sasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap);
e. The
specific direction of motives and driues is learnedfrom definitions of the
legal codes as favorable or unfauorable (arah khusus dari motif-motif dan
dorongan-dorongan itu dipelajari melalui defi nisi-definisi dari aruran-aturan hukum
apakah ia menguntungkan atau tidak);
f.
A person becomes delinquent because of an excess
of definitions favorable to violation of law ouer definitions unfauorable to violation
of law (seseorang yang menjadi elinquency
karena definisi-definisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih kuat
dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum);
g. Differential
association may vary in frequency, duration, priority, and intencify (asosiasi
diferensial itu mungkin berbeda-beda dalam frekuensi atau kekerapannya, lamanya,
prioritasnya, dan intensitasnya) .
h. The process of
learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns
involues all of the mechanism that are involued in any other learning (proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui
pergaulan dengan pola-pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua
mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar);
i. While criminal
behavior is an expression of general needs and ualues, it is not explained by
those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of
the same needs and values (walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan
dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak
dapat dijelaskan melalui kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut,
karena tingkah laku nonkriminal juga merupakan ungkapan dari
kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilaiyang sama).
Makna teori Sutherland merupakan
pendekatan individu mengenai seseorang dalam kehidupan masyarakatnya, karena
pengalaman-pengalamannya tumbuh menjadi penjahat. Dengan adanya individu atau
kelompok individu yang secara yakin dan sadar melakukan perbuatannya yang
melanggar hukum, disebabkan adanya dorongan posesif mengungguli dorongan
kreatif yang untuk itu dia melakukan pelanggaran hukum dalam memenuhi
posesifnya.
Meskipun banyak pakar kriminologi
telah memberikan pendapat, atau komentar, dapat dikatakan bahwa teori asosiasi
diferensial masih relevan dengan situasi dan kondisi kehidupan sosial sampai
dengan abad ke-20 ini. Sebagai salah satu dari pernyataan di atas yakni dapat
menjelaskan konsep teori kejahatan white collar crime, sebagai berikut:
"As a notural
product of confticting volues within oui economyc and class structures ond the
white cottor criminal as an individual who through ossociotlons with colleagues
who define their offenses as "normol" if not justified, learns to
accept and porticipatein the anti-legaI proctices of this occupotion”.
Pada kenyataannya, differential
association theory juga mengalami nasib yang sama dengan social disorganization
theory, mendapat juga sejumlah kritik, di antaranya:
a. Mengapa tidak setiap orang yang berhubungan dengan pola-pola
tingkah laku kriminal menjadi seorang penjahat?
b. Mengapa beberapa orang yang mempelajari pola-pola tingkah
laku kriminal tidak terlibat dalam perbuatan kriminal?
c. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana penjahat
yang pertama kali menjadi penjahat.
b. Culture Conflict Theory
Culture conflict theory
menjelaskan keadaan masyarakat dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kurangnya
ketetapan dalam perjalanan hidup;
b. Sering terjadi pertemuan norma-norma dari berbagai daerah
yang satu sama lain berbeda bahkan ada yang saling bertentangan.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Thorsten Sellin, setiap kelompok masyarakat memiliki conduct norms-nya sendiri dan
bahwa conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct
norms kelompok lain. Oleh karena itu, Sellin membedakan antara konflik primer
dan konflik sekunder. Konflik primer terjadi ketika norma-norma dari dua budaya
bertentangan (clash). Konflik sekunder muncul jika suatu budaya berkembang
menjadi budaya yang berbeda-beda, masing-masing memiliki perangkat conduct
norms-nya sendiri. Konflik jenis ini terjadi ketika satu masyarakat homogen
atau sederhana menjadi masyarakat yang kompleks ketika sejumlah
kelompok-kelompok sosial berkembang secara konstan dan norma-norma sering kali tertinggal.
Contoh konkretnya: di Bali seorang
wanita dewasa biasanya mandi di tempat umum dengan telanjang (bugil) dan hal ini
bukan merupakan suatu pelanggaran asusila tetapi ketika
orang Bali tersebut berada di daerah lain, misalnya
di Aceh dan tetap melakukan hal yang sama, maka hal tersebut merupakan
pelanggaran asusila yang menyebabkan pertentangan budaya. Culture conflict theory terbagi dalam subcultural theories,
kemudian terbagi lagi menjadi subculture of violance. Teori subculture timbul
ketika orang-orang dalam keadaan yang serupa mendapati diri mereka terpisah
dari mainstream (arus terbesar) masyarakat dan mengingatkan diri bersama untuk
saling mendukung. Subculture terbentuk dengan anggota sesama suku atau pada ras
minoritas.
Sebagai contoh dari teori
subculture terjadi pada anak-anak kelas bawah yang tidak pemah mengenal gaya
hidup kelas menengah, dan kemudian disekolahkan di sekolah elite. Pada akhirnya
anak-anak kelas bawah ini berusaha beradaptasi dengan anak-anak dari kalangan
menengah ke atas. Jika anak-anak dari kelas bawah tersebut diperhadapkan dengan
kehidupan mewah yang tidak dapat mereka jangkau, maka hal seperti inilah yang
membuat frustrasi dan tekanan pada anak tersebut yang memungkinkan terjadi
kejahatan, seperti "mencuri," untuk mengikuti gaya hidup teman-
temannya.
Pada teori subculture of violence,
Marvin Wolfgang dan Franc Ferracuti memfokuskan pada culture conllict (konflik budaya),
dan uiolent crime (kejahatan kekerasan). Sub-budaya yang mengikrti conduct
normsyang kondusif bagi kekerasan disebut dengan subcultures of uiolence. Kekerasan
tidak digunakan dalam semua situasi, namun sering merupakan suatu tanggapan
yang diharapkan. Jadi, anggota subbudaya seperti ini tidak merasa bersalah
dengan agresi mereka. Sebaliknya orang-orang yang tidak melakukan kekerasan
mungkin akan dicela. Sistem nilai seperti ini ditransmisikan dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
Selanjutnya, kelemahan daripada
culture conflict theory, sebagai berikut:
a. Teori ini tidak menjelaskan mengapa kebanyakan delinquent
pada akhirnya menjadi orang yang taat hukum meskipun kedudukan mereka dalam
struktur kelas relatif tetap (kelas bawah);
b. Tidak jelas apakah anak-anak muda itu didorong oleh kekuatan
motivasi serius atau hanya keluar jalanan untuk mencari kesenangan;
c. Iika sub-budaya delinquent akibat dari mengukur anak-anak
kelas bawah dengan menggunakan alat ukur
kelas menengah, lalu bagaimana orang akan menerangkan delinquen tkelas menengah
ke atas.
5. Teori Kontrol Sosial (Control
Social Theory)
Pengertian teori kontrol atat
control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian
tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk
kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel
yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan
kelompok dominan. Ada beberapa tokoh dari teori kontrol sosial yaitu:
a. Albert J. Reiss,Jr.
Pada tahun (1951) Albert J. Reiss,
Ir. telah menggabungkan konsep tentang kepribadian dan sosialisasi dengan hasil
penelitian dari aliran Chicago, dan telah menghasilkan teori kontrol sosial.
Teori yang kemudian hari memperoleh perhatian serius dari sejumlah pakar
kriminologi. Reiss mengemukakan bahwa ada tiga komponen dari kontrol sosial
dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu:
a. Kurangnya
kontrol internal yang wajar selama masa anak-anak;
b. Hilangnya
kontrol tersebut ;
c. Tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antara norma-norma
dimaksud di sekolah, orangtua, atau di lingkungan dekat.
Reiss juga membedakan dua macam
kontrol, yaitu: personal control dan social control. Personal control (internal
control) adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri untuk tidak mencapai
kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan sosial kontrol atau kontrol eksternal adalah
kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan
norma-norma atau peraturan menjadi efektif.
Reiss mengajukan tesis, untuk orang-orang
tertentu melemahnya personal dan sosial kontrol secara relatif dapat diperhitungkan
sebagai penyebab terbesar delinquency, namun dalam banyak kasus melemahnya
personal dan sosial kontrol secara selayaknya diperhitungkan sebagai penyebab
melemahnya delinquency.
b. Walter Reclaless
Pada 1961 dengan bantuan Simon
Dinitz yang mengemukakan containment theory. Pada hakikatnya, teori ini menjelaskan
bahwa kenakalan remaja merupakan akibat dari interrelasi antara dua bentuk
kontrol, yaitu kontrol eksternal dan kontrol internal. Menurut Reckless,
containment internal dan external memiliki posisi netral, berada di antara
tekanan sosial (social pressures) dan tarikan sosial (soclal pulls) lingkungan
dan dorongan dari dalam individu. Posisi individu dalam dan di antara
faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar Skema hal.78
c. lvan F. NYe
Pada 1958, telah lahir teori
sosial kontrol tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan tetapi
merupakan penjelasan yang bersifat kasuistis nya pada hakikatnya tidak menolak
adanya unsur-unsur psikologis, di samping unsur subkultural dalam proses
terjadinya kejahatan. Sebagian kasus
delinquency menurut Nye disebabkan gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol
sosial yang tidak efektif'. Menurut Nye terdapat empat tipe kontrol sosial,
yakni:
a. Direct
control which come from discipline, restrictions “punishment”,
b. Internalized control which is the inner
control from consienceci',
c. Indirect control
which is exerted by not wanting to hurt or go against the wishes of parents or
other indiuiduals whom the person identifies;
d. The availability
of alternative means to goals and values.
Kontrol internal dan eksternal
dapat menjaga atau mengawasi individu berada dalam jalur yang seharusnya, dan containment lebih penting dari penentuan
tingkah laku, identifikasi dengan subkultur delinkuent
atau kelompok-kelompok dominan dan lain-lain.
d. Dovid Matza dan Gresham Sykes
Kritik terhadap teori subkultur
dari Albert Cohen terjadi pada 1957. Kritik tersebut menyatakan bahwa kenakalan
remaja, meskipun dilakukan oleh mereka yang berasal dari stra-
ta sosial rendah, juga terkait pada sistem-sistem
nilai dominan dalam masyarakat. Sykes dan Malzakemudian mengemukakan konsep
atau teori tentang technique of neutralization. Teknik dimaksud telah
memberikan kesempatan bagi seorang individu untuk melonggarkan keterkaitannya
dengan sistem nilai-nilai yang dominan tersebut, sehingga ia merasakan
kebebasannya untuk melakukan kenakalan. Sykes dan Matza merinci lima teknik
netralisasi, sebagai berikut:
a. Denial of responsibility merujuk kepada suatu anggapan di
kalangan remaja nakal yang nienyatakan bahwa dirinya merupakan korban dari
orangtua yang tidak mengasihi, lingkungan, pergaulan yang buruk, atau berasal
dari tempat tinggal yang kumuh. Contoh, ia mencuri karena tidak disekolahkan
oleh orangtuanya, atau selalu dicela oleh masyarakat;
b. Denial of iniury, merujuk kepada suatu alasan di kalangan
remaja nakal bahwa tingkah laku mereka sesungguhnya tidak merupakan suatu
bahaya yang besar. Dengan demikian mereka beranggapan bahwa uandalisnt (contoh:
mencoret-coret pintu, WC, kursi, bus umum) nlertl-
pakan suatu
kelalaian semata-mata, dan mencuri mangga dianggap soal biasa saja, mencuri
sandal di masjid luga dianggapnya sebagai perkara biasa;.
c. Deniat of the
uictim, merujuk kepada suatu keyakinan diri pada remaja nakal bahwa mereka
adalah pahlawan, sedangkan korban justru dipandang sebagai mereka yang melakukan
kejahatan. Contoh: merusak sekolah karena tidak naik kelas, memukul siswa
sekolah lain yang dianggap musuh kelompoknya;.
d. Condemnation of the condemners, merujuk kepada suatu anggapan
bahwa polisi sebagai hipokrit, sebagai pelaku yang melakukan kesalahan atau
memiliki perasaan tidak senang pada mereka; Appeal to higher loyalities,
merujuk kepada adanya kesetiakawanan yang tinggi pada anggota kelompoknya.
e. Travis Hirschi
Pada 1969, telah dikemukakan teori
kontrol sosial paling andal dan sangat popular. Hirschi dengan keahliannya merevisi
teori-teori sebelumnya mengenai kontrol sosial telahmemberikan suatu gambaran
yang jelas mengenai konsep socialbonds (ikatan sosial). Hirschi sependapat
dengan Durkheim, ia yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan berbagai
ragam pandangan tentang kesusilaan.
Hirschi berpendapat bahwa seseorang
bebas untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan-penyimpangan tingkah lakunya.
Selain menggunakan teknik netralisasi untukmenjelaskan tingkah laku dimaksud,
Hirschi menegaskan bahwa penyimpangan tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak
adanya keterkaitan moral dengan orangtua, sekolah,
dan lembaga lainnya.
Hirschi kemudian menjelaskan bahwa
social bondsmeliputi empat unsur, yaitu:
a. Attachment (keterikatan): keterkaitan seseorang pada (orangtua),
sekolah, atau lembaga lainnya sehingga dapat
mencegah atau menghambat yang bersangkutan untuk melakukan kejahatan;
b. Inuoluement (keterlibatan): frekuensi kegiatan positif
(belajar tekun, anggota pramuka, panjat tebing), cenderung menyebabkan
seseorang itu tidak terlibat dalam kejahatan;
c. Commitmenf (pendirian kuat yang positifl: sebagai suatu investasi
seseorang di masyarakat dalam bentuk pendidikan, reputasi yang baik, dan
kemajuan dalam bidang wiraswasta tetap dijaga untuk mewujudkan cita-citanya;
d.
Belief (pandangan nilai moral yang tinggi): unsur yang mewujudkan pengakuan
seseorang akan norma-norma yang baik dan adil dalam masyarakat. Unsur ini
menyebabkan seseorang menghargai norma-norma dan aturanaturan serta merasakan
adanya kewajiban moral untuk
menaatinya.
Pada akhirnya teori "ikatan sosial" yang
diungkapkan oleh Hirschi juga mendapatkan kritikan, di antaranya:
a.
Teori ini hanya menjelaskan kenakalan
remaja (delinquency) danbukan kejahatan oleh orang dewasa;
b.
Teori ini menaruh perhatian pada sikap,
kepercayaan, keinginan, dan tingkah laku, meskipun menyimpang bagi anak remaja,
seperti: merokok, minum-minuman keras. Namun bagi orang dewasa perbuatan itu
merupakan perbuatan yang wajar-wajar saja;
c. Penggunaan terlalu sedikit item
pertanyaan untuk mengukur ikatan sosial.
F. KEJAHATAN DARI PERSPEKTIF LAIN
Masih ada teori penyebab kejahatan
yang lain, yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori
tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri
pelaku.
Teori labeling terbentuk
berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi
umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup". Sementara, pada teori
konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena
pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap
mengekang dirinya.
Sama halnya dengan teori radikal
juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem,
kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar, industri, me-
nyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang
modal).
1. Teori Labeling
Tokoh-tokoh teori labeling
diantaranya: Becker, melihat kejahatan itu sering kali bergantung pada mata si
pengamat karena anggota-anggota dari kelompok-kelompok yang berbeda memiliki
perbedaan konsep tentang apa yang disebut baik dan layak dalam situasi tertentu;
Howard, berpendapat bahwa teori labeling dapat
dibedakan dalam dua bagian, yaitu:
a. Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau
label;
b. Efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikrrtnya.
Persoalan pertama dari labeling
yakni memberikan label atau cap kepada seorangyang sering melakukan kenakalan
atau kejahatan. Labelingdalam arti ini, yakni labeling sebagai akibat dari
reaksi masyarakat. Sejalan dengan itu Howard mengemukakan bahwa:
" Social
group create deviance by making the rules whose infraction constitute deviance.
The deviant is one to whom that label has successfully been applied deviant
behavior that people so label."
Persoalan labeling kedua (efek
labeling), yakni bagaimana labeling memengaruhi seseorang yang terkena label atau
cap. Persoalan ini memperlakukan labeling sebagai variabel yang independen atau
variabel bebas. Terkait dengan itu, terdapat dua proses bagaimana labeling
memengaruhi seseorang yang terkena label atau cap untuk melakukan penyimpangan
tingkah lakunya:
Pertama,
label tersebut menarik perhatian pengamat dan mengakibatkan pengamat selalu
memperhatikannya kemudian seterusnya label itu diberikan padanya oleh si pengamat.
Kedua,label atau cap tersebut sudah
diadopsi oleh seseorang dan memengaruhi dirinya sehingga ia mengakui dengan
sendirinya sebagaimana label itu diberikan oleh si pengamat, bahwa dirinya
memang penjahat.
Salah satu dari kedua proses di
atas dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku dan membentuk karier kriminal
seseorang. Seorang yang telah memperoleh label dengan sendirinya akan menjadi
perhatian orang-orang di sekitarnya. Selanjutnya, kewaspadaan atau perhatian orang-orang
di sekitarnya akan memengaruhi orang tersebut untuk melakukan kegiatan lagi
karena tidak ada lagi orang mempercayainya.
3. Scharg, menyimpulkan asumsi dasar teori labeling sebagai berikut:
a. Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat
kriminal;
b.
Rumusan atau batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan
kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan;
c. Seseorang menjadi
penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang melainkan karena ia ditetapkan
oleh penguasa;
d. Sehubungan dengan
kenyataan bahwa setiap orang dapat berbuat baik dan tidak baik, tidak berarti
bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok kriminal dan nonkriminal;
e. Tindakan
penangkapan merupakan awal dari proses labeling
f. Penangkapan dan
pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana adalah fungsi dari pelaku
sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya;
g. Usia, tingkat
sosial-ekonomi, dan ras merupakan karakteristik umum pelaku kejahatan yang
menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana;
h. Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif
kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang
dipandang sebagai penjahat;
i. Labeling merupakan
suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deuiant dan
menghasilkan rejection of the rejector.
Dua konsep penting dalam teori
labeling yaitu primary devuiance dan secondary
deviance. Primary de iance ditujukan
kepada penyimpangan tingkah laku awal. Adapun secondary deuiance berkaitan
dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang sebagai akibat dari penangkapan
dan cap sebagai penjahat. Sekali cap ini dilekatkan pada seseorang, maka sangat
sulit orang bersangkutan untuk selanjutnya melepaskan diri dari capdimaksud dan
kemudian akan mengidentifikasi dirinya dengan
cap yang telah diberikan masyarakat terhadap dirinya. Apabila demikian halnya,
proses penyimpangan tingkah laku atau deuiant behavior. " Having been created in society by control
agencies representing the interest of dominant groups".
4. Lemert telah
memperkenalkan suatu pendekatan yang berbeda dalam menganalisis kejahatan
sebagaimana tampak dalam pernyataan di bawah ini:
"This is large
turn away from the older sociology which
tended to rest heavilly upon the idea
thot deviance leads to social control. I have come to believe that the reverse
idea, i.e. social control leads to deviance, equally tenable and the potentiolly
richer premise for studying deviance in modern society”.
5. Frank
Tannenbaum, menamakan proses pemasangan label tadi kepada si penyimpang
sebagai "dramatisasi sesuatu yang jahat atau kejam". la memandang
proses kriminalisasi ini sebagai proses memberikan label, menentukan, mengenal
(mengedintifikasi), memencilkan, menguraikan, menekankan atau menitikberatkan,
membuat sadar, atau sadar sendiri. Kemudian menjadi cara untuk menetapkan
ciri-ciri khas sebagai penjahat.
Bersama dengan para teoretisi yang
lainnya, Tannenbaum berusaha mengalihkan pencarian data dari perbuatan menyimpang
secara kriminologis kepada kontrol sosial dan mekanisme reaksi sosial. Dalam
pengertian bahwa ini membalik arah proses analisis yang lazim, serta lebih menganggap
bahrva perilaku kriminal menimbulkan reaksi sosial, ia beranggapan bahwa reaksi
sosial dapat menimbulkan perilaku kriminal.
2. Teori Konflik (Conflict
Theory)
Teori konflik lebih mempertanyakan
proses pembentukan hukum. Pertarungan (struggle) untuk kekuasaan merupakan
suatu gambaran dasar eksistensi manusia. Dalam arti pertarungan kekuasaan
itulah sehingga berbagai kelompok kepentingan berusaha mengontrol pembentukan
dan penegakkan hukum. Untuk memahami pendekatan atau teori konflik ini, secara
singkat perlu diamati model tradisional dalam memandang kejahatan dan peradilan
pidana yang lahir dari keadaan yang dinamakan teori konsensus masyarakat
(communal consensus).
Dalam model konsensus, anggota
masyarakat pada umumnya sepakat tentang apa yang benar dan apa yang salah, dan
intisari hukum merupakan kodifikasi nilai-nilai sosial yang disepakati
tersebut. Hukum merupakan mekanisme untuk menyelesaikan perselisihan yang
muncul, jika si individu bertindak terlalu jauh dari tingkah laku yang
diperbolehkan atau diterima masyarakat. Model konsensus ini melihat masyarakat
sebagai suatu kesatuan yang stabil ketika hukum diciptakan "for the
general good' (untuk kebaikan umum). Fungsi hukum untuk mendamaikan dan
mengharmonisasi banyak kepentingan-kepentingan bagi anggota masyarakat dihargai,
dengan pengorbanan yang sedikit mungkin.
Adapun model konflik,
mempertanyakan tidak hanya proses dengan mana seseorang menjadi kriminal,
tetapi juga siapa di masyarakat yang memiliki kekuasaan (power) untuk membuat
dan menegakkan hukum. Teori konflik, sebagaimana labelling theory, memiliki
akarnya dalam memberontak dan mempertanyakan tentang nilai-nilai. Perbedaannya
dengan pendekatan labeling maupun tradisional yang terfokus pada kejahatan dan
penjahat (termasuk labeling terhadap pelaku oleh sistem), teori konflik
mempertanyakan eksistensi dari sistem itu sendiri. Pertarungan antara para
teoretisi tradisional dan labeling di satu sisi dengan teoretisi konflik pada sisi
lain menjadi bersifat ideologis. Para penganut teori konflik menentang
pandangan konsensus, tentang asal lahirnya hukum pidana dan penegakannya.
Selanjutnya, penyebab kejahatan
dalam perspektif konflik terbagi dalam beberapa varian, sebagai berikut:
1. Teori Asosiasi
Terkoordinasi secara Imperatif (Keharusan) Ralf Dahrendorf (1959)
merumuskan kembali teori Marxis mengenai konflik kelas yang lebih pluralistik,
ketika banyak kelompok bersaing untuk kekuatan, pengaruh, dan dominasi.
Konsepnya mengenai "asosiasi terkoordinasi" dengan keharusan menganut
kontrol sosial dalam suatu masyarakat yang digantungkan pada hubungan bertingkat-tingkat
atau hierarki dalam asosiasi subordinat (sub-
ordinate as sociations).
Dengan meminjam gagasan dialektika
dari Marx dan Engel, Dahrendorf memandang setiap masyarakat dengan ciri-ciri
penggunaan paksaan terhadap kelompok-kelompok tertentu oleh yang lainnya. Pembagian
kewenangan secara tidak sama menimbulkan konflik sosial, di saat
kelompok-kelompok dominan memaksakan kehendak mereka dan kelompok-kelompok bawahan
berusaha menentangnya.
2. Teori Pluralistik Model George
Void
GeorgeVoid mengemukakan:
"masyarakat itu terdiri dari berbagai macam kelompok kepentingan yang
harus bersaing, dan bahwa konflik merupakan salah satu unsurnya yang esensial
dengan kelompok-kelompok yang lebih kuat, mampu membuat negara merumuskan
undang-undang atau "hukum" demi kepentingan mereka". Banyak
tindakan kriminal merupakan tantangan oleh kelompok bawahan terhadap pengawasan
kelompok yang dominan, kendatipun ia tampaknya ingin membatasi uraian ini
hingga pada isu-isu yang berkaitan dengan konflik ideologi politik, seperti
halnya gerakan pembaruan politik, konflik batas udara, dan konflik hak-hak perdata.
Oleh karena itu, kejahatan dapat dikatakan sebagai produk konflik antar
kelompok yang menyatakan adanya perjuangan politik kelompok-kelompok.
3. Teori
Austin Turk (Kriminal terdiri dari kelompok-kelompok yang lebih kuat)
Turk adalah seorang penulis
perspektif kriminologi konflik, mengetengahkan proposisi teori "hukum
pidana yang ditetapkan kelompok-kelompok yang lebih ktat" (more powerful groups define criminal law),
sebagai berikut:
a. Individu-individu
yang berbeda dalam pengertian dan komitmen mereka;
b. Perbedaan
tersebut mengakibatkan konflik;
c. Masing-masing pihak yang berkonflik (bersengketa) berusaha
meningkatkan pandangan-pandangannya sendiri;
d. Mereka dengan
kepercayaan yang sama, cenderung bergabung
dan membentuk komitmen serupa;
e. Konflik yang berkepanjangan atau kontinu, cenderung
menjadi rutin dan berkembang menjadi sistem stratifikasi;
f. Sistem seperti ini
menunjukkan eksploitasi ekonomi, dikekang oleh dominasi politik dalam segala
bentuk;
g. Kekuatan relatif
pihak-pihak yang bersengketa menentukan posisi hierarki mereka, demikian pula
perubahan-perubahan dalam distribusi kekuatan;
h. Pemusatan pandangan dalam pengertian dan komitmen
dikarenakan pembagian pengalaman dengan menangani "orang dalam, orang
luar" dan lingkungan;
h.
Pengertian manusia dan komitmen merupakan
dialektikal dengan ciri-ciri adanya konflik terus-menerus (berkepanjangan).
5. Teori Radikal (Kriminologi
Kritis)
Pada dasarnya, perspektif
kriminologi yang mengetengah kan teori radikal berpendapat bahwa kapitalisme
sebagai kausa kriminalitas, dapat dikatakan sebagai aliran Neo-Marxis. Dua
teori radikal selanjutnya diuraikan sebagai berikut:
a. Richard Quinney
Menurut Richard Quinney, kejahatan
adalah akibat dari kapitalisme dan
problem kejahatan hanya dapat dipecahkan melalui didirikannya negara sosialis.
Selanjutnya, Quinney
mengetengahkan proporsinya mengenai penanggulangan kejahatan,
sebagai berikut:
a. Masyarakat
Amerika didasarkan pada ekonomi kapitalis yang telah maju;
b. Negara
diorganisasi untuk melayani kepentingan kelas ekonomi yang dominan;
c. Hukum pidana merupakan alat atau instrumen negara kelas
penguasa untuk mempertahankan dan mengabadikan atau mengekalkan tertib sosial
dan ekonomi yang ada;
d. Kontrol kejahatan dalam masyarakat kapitalis dicapai melalui
berbagai macam lembaga, aparat yang didirikan dan diatur oleh golongan elite
dalam pemerintahan mewakili kepentingan kelas yang memerintah, dengan tujuan
mendirikan tertib domestik;
e. Kontradiksi-kontradiksi kapitalisme yang telah maju,
terdapat rantai putus antara keberadaan dan kebutuhan inti menunjukan
kelas-kelas bawah tetap tertekan oleh apa saja yang dianggap perlu, khususnya
melalui penggunaan paksaan atau kekerasan sistem perundang-undangan yang ada;
f. Hanya melalui
bubarnya atau ambruknya masyarakat kapitalis dan diciptakannya masyarakat baru
yang didasarkan pada asas sosialis, baru dapat diperoleh pemecahan masalah
kejahatan.
b. William
Chamblis
Menurut William Chambils, ada
hubungan antara kapitalisme dan kejahatan sebagaimana dapat dianalisis dalam beberapa
peristiwa, di antaranya:
a. Dengandiindustrialisasikannyamasyarakatkapitalis, dan celah
antara golongan borjuis dan proletariat melebar, hukum pidana akan berkembang
dengan usaha memaksa golongan proletariat untuk tunduk;
b. Mengalihkan
perhatian kelas golongan rendah dari eksploitasi yang mereka alami;
c. Masyarakat sosialis akan memiliki tingkat kejahatan yang lebih
rendah, karena dengan berkurangnya kekuatan perjuangan kelas, akan mengurangi
kekuatan-kekuatan yang menjurus kepada fungsi kejahatan.
Melalui pemahaman teori-teori
tersebut di atas, baik refleksi kejahatan model konsensus maupun refleksi
kejahatan model konflik memungkinkan dapat diikutinya pergeseran
perspektifnya. Pemahaman ini akan bermanfaat bagi
pemilihan perspektif kriminologi yang tepat bagi kebijakan kriminal dan
kebijakan sosial di Indonesia.
Sumber:
A.S.Alam dan Amir Ilyas.2018. Kriminologi Suatu Pengantar. Prenadamedia
Group. Jakarta (hal.61 -90)
LEMBAR KERJA
Tuliskan jawaban pada laman komentar
bahan kuliah ini dengan menyebutan nama, Nim, dan mata kuliah diambil.
1.Jelaskan anomie dan tokoh-tokohnya?
2.Jelaskan teori penyimpangan budaya?
3.Jelaskan terori kontrol sosial?
4.Jelaskan kejahataan dalam perspektif lain?
Nama. :Rocky Al'amin
ReplyDeleteNim. :18202048(4m2)
Teknik mesin
1.anomie adalah kondisi dimana masyarakat tidak memberikan petunjuk moral yang banyak kepada individu
*Sieghart caeser
*Monkey d Luffy
*Yoichi hiruma
2.cultural deviance teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan kekuatan sosial budaya menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal
3.Pengertian teori kontrol atat control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan. Ada beberapa tokoh dari teori kontrol sosial.
4.Masih ada teori penyebab kejahatan yang lain, yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup". Sementara, pada teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.
Sama halnya dengan teori radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar, industri, me-
nyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).
Nama : Khairun Nisak
ReplyDeleteNim : 0205172231
M. K : Kriminologi & Viktimologi
Kelas: Jinayah VI c
Jawaban
1.Anomie adalah suatu gejala
sosial yang sangat unik sebagai akibat adanya
perubahan sosial budaya yang selalu bergantian,
sementara itu system nilai yang berlaku dalam
masyarakat tidak mengalami perubahan.
Tokoh-tokohnya ialah
-Emile Durkheim
- Robert Merton,
-Cloward, Ohlin,
- Cohen
2. Teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan-kekuatan sosial (soclal forceg yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Cultural deuiance theories (toeri penyimpangan budaya) memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class.
-Ada Tiga teori utama dari cultural deuiance theories, yaitu: social disorganization, differential association, cultural conflict.
3.Teori control social merupakan suatu teori tentang penyimpangan yang disebabkan oleh kekosongan control atau pengendalian social. Pengertian teori kontrol atau control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan.
4.Kejahatan dalam prespektif lain ada tiga teori yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
-Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup".
-Teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.
-Sama halnya dengan teori radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar,industri,menyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).
NAMA : RAJA DOLI PRASETIAWAN RITONGA
ReplyDeleteNIN : 18202078
KELAS : 4 M 2
JURUSAN : MESIN
1.anomie adalah kondisi dimana masyarakat tidak memberikan petunjuk moral yang banyak kepada individu
*Sieghart caeser
*Monkey d Luffy
*Yoichi hiruma
2.cultural deviance teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan kekuatan sosial budaya menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal
3.Pengertian teori kontrol atat control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan. Ada beberapa tokoh dari teori kontrol sosial.
4.Masih ada teori penyebab kejahatan yang lain, yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup". Sementara, pada teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.
Sama halnya dengan teori radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar, industri, me-
nyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).
Nama. :Daniel Rama Setiawan Situmorang
ReplyDeleteNim. :18202074 (4M2)
Jurusan: Teknik Mesin
1.anomie adalah kondisi dimana masyarakat tidak memberikan petunjuk moral yang banyak kepada individu
*Sieghart caeser
*Monkey d Luffy
*Yoichi hiruma
2.cultural deviance teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan kekuatan sosial budaya menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal
3.Pengertian teori kontrol atat control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan. Ada beberapa tokoh dari teori kontrol sosial.
4.Masih ada teori penyebab kejahatan yang lain, yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup". Sementara, pada teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.
Sama halnya dengan teori radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar, industri, me-
nyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).
Nama : Elma Raisa Hasibuan
ReplyDeleteNim : 0205173253
Kelas : Jinayah VI C
Mata Kuliah : Kriminologi dan Victimologi
1. Jelaskan anomie dan tokoh-tokohnya?
Jawab:
Anomie (ketiadaan norma) atau strain (ketegangan); Para penganut teori anomie beranggapan bahwa seluruh anggota nrasyarakat mengikuti seperangkat nilai-nilai budaya, yaitu nilai-nilai budaya kelas menengah, yakni adanya anggapan bahwa nilai budaya terpenting adalah keberhasilan dalam ekonomi. Hal ini disebabkan orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah (legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut, seperti gaji tinggi, bidang usaha yang maju. Mereka menjadi frustrasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah (illegitimate means).
Tokoh-tokohya:
-Emile Durkheim
- Robert Merton,
-Cloward, Ohlin,
- Cohen
2. Jelaskan teori penyimpangan budaya?
Jawab:
Teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan-kekuatan sosial (social force) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Cultural deviance theories memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class. Proses penyesuaian diri dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh, menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat.
Teori penyimpangan budaya mengklaim bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki seperangkat nilai-nilai yang berbeda, cenderung berkonflik dengan nilai-nilai kelas menengah. Sebagai konsekuensinya, ketika orang-orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional dengan cara mencuri, merampok, dan sebagainya.
3. Jelaskan teori kontrol sosial
Jawab:
Pengertian teori kontrol atat control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan.
4. Jelaskan kejahataan dalam perspektif lain?
Jawab:
Kejahatan dalam prespektif lain ada tiga teori yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
a. Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup".
b. Teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.
c. Sama halnya dengan teori radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar,industri,menyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).
Nama: Togap Siagian
ReplyDeleteNim:18202067
Kelas:4m2
1.anomie adalah kondisi dimana masyarakat tidak memberikan petunjuk moral yang banyak kepada individu
*Sieghart caeser
*Monkey d Luffy
*Yoichi hiruma
2.cultural deviance teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan kekuatan sosial budaya menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal
3.Pengertian teori kontrol atat control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan. Ada beberapa tokoh dari teori kontrol sosial.
4.Masih ada teori penyebab kejahatan yang lain, yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup". Sementara, pada teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.
Sama halnya dengan teori radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar, industri, me-
nyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).
Nama. :Muhammad Saini
ReplyDeleteNim. :18202056 (4m2)
Teknik mesin
1.anomie adalah kondisi dimana masyarakat tidak memberikan petunjuk moral yang banyak kepada individu
*Sieghart caeser
*Monkey d Luffy
*Yoichi hiruma
2.cultural deviance teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan kekuatan sosial budaya menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal
3.Pengertian teori kontrol atat control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan. Ada beberapa tokoh dari teori kontrol sosial.
4.Masih ada teori penyebab kejahatan yang lain, yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup". Sementara, pada teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.
Sama halnya dengan teori radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar, industri, me-
nyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).
Nama : ardiansah sitepu
ReplyDeleteNim : 18202047
Kelas: 4m2
jurusan : T.MESIN
1.Anomie adalah suatu gejala
sosial yang sangat unik sebagai akibat adanya
perubahan sosial budaya yang selalu bergantian,
sementara itu system nilai yang berlaku dalam
masyarakat tidak mengalami perubahan.
Tokoh-tokohnya ialah
Emile DurkheimRobert MertonCloward, Ohlin,Cohen
2. Teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan-kekuatan sosial (soclal forceg yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Cultural deuiance theories (toeri penyimpangan budaya) memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class.
Ada Tiga teori utama dari cultural deuiance theories, yaitu:
social disorganization, differential association, cultural conflict.
3.Teori control social merupakan suatu teori tentang penyimpangan yang disebabkan oleh kekosongan control atau pengendalian social.
Pengertian teori kontrol atau control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu,
pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan.
4.Kejahatan dalam prespektif lain ada tiga teori yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
*Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup".
*Teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.Sama halnya dengan teori *radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar,industri,menyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).
Nama: YESAYANTO NGONGIRA SINAGA
ReplyDeleteNim:18202118
Kelas:4m3
1.anomie adalah kondisi dimana masyarakat tidak memberikan petunjuk moral yang banyak kepada individu
*Sieghart caeser
*Monkey d Luffy
*Yoichi hiruma
2.cultural deviance teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan kekuatan sosial budaya menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal
3.Pengertian teori kontrol atat control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan. Ada beberapa tokoh dari teori kontrol sosial.
4.Masih ada teori penyebab kejahatan yang lain, yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup". Sementara, pada teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.
Sama halnya dengan teori radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar, industri, me-
nyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).
Nama : Mahfuzhah Alawiyah
ReplyDeleteNim : 0205172239
Kelas : Jinayah 6c
Mata Kuliah : Kriminology dan Victimology
Jawaban
1. Anmie adalah prilaku penyimpangan sosial yang dilakukan oleh seorang individu atau kelompok di dalam kehidupan masyarakat.
Tokoh-tokohnya :
a. Emile Durhheim
b. Robert K. Merton
c. Cloward dan Ohlin
d. Cohen
2. Teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan-kekuatan sosial (soclal forceg yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Cultural deuiance theories memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower c/ass. Proses penyesuaian diri dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh, menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat. Tiga teori utama dari cultural deuiance theories, yailrt: social disorganization, differential association, cultural conflict.
3. Teori Kontrol Sosial (Control Social Theory) merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan.
4. Kejahatan dari prespektif lain yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
1) Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup".
2) Teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.
3) Teori radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar, industri, menyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).
Nama : Duti Nabila
ReplyDeleteNim : 0205173253
Kelas : Jinayah VI C
Mata Kuliah : Kriminologi dan Victimologi
1. Anomie (ketiadaan norma) atau strain (ketegangan); Para penganut teori anomie beranggapan bahwa seluruh anggota nrasyarakat mengikuti seperangkat nilai-nilai budaya, yaitu nilai-nilai budaya kelas menengah, yakni adanya anggapan bahwa nilai budaya terpenting adalah keberhasilan dalam ekonomi. Hal ini disebabkan orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah (legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut, seperti gaji tinggi, bidang usaha yang maju. Mereka menjadi frustrasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah (illegitimate means).
Tokoh-tokohya:
-Emile Durkheim
- Robert Merton,
-Cloward, Ohlin,y
- Cohen
2. Teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan-kekuatan sosial (social force) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Cultural deviance theories memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class. Proses penyesuaian diri dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh, menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat.
Teori penyimpangan budaya mengklaim bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki seperangkat nilai-nilai yang berbeda, cenderung berkonflik dengan nilai-nilai kelas menengah. Sebagai konsekuensinya, ketika orang-orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional dengan cara mencuri, merampok, dan sebagainya.
3. Pengertian teori kontrol atat control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan.
4. Kejahatan dalam prespektif lain ada tiga teori yaitu teori labeling, teori konflik, dan teori radikal. Ketiga teori tersebut masih bersentuhan dengan studi kejahatan yang bersifat eks-
ternal, sebab memandang penyebab kejahatan yang bersumber dari luar diri pelaku.
a. Teori labeling terbentuk berdasarkan tradisi yang diperbuat oleh pelaku kejahatan, sehingga persepsi umum menodainya dengan "penjahat seumur hidup".
b. Teori konflik memiliki pusat perhatian pada orang melakukan kejahatan karena pembangkangan suatu sistem yang berupa kontrak sosial (hukum) yang dianggap mengekang dirinya.
c. Sama halnya dengan teori radikal juga memberikan pendapat kalau terjadi penolakan terhadap sebuah sistem, kuatnya sistem kapitalisme yang menjadi penguasa pasar,industri,menyebabkan kelas bawah melakukan kejahatan pada kelas atas (pemegang modal).