MK. AEE-13. MODEL PILIHAN ENERGI


AEE-13. MODEL PILIHAN  ENERGI
Salah satu poin menarik dalam penjabaran berikut adalah dampak negatif dari kerusakan lingkungan-baik di tingkat global maupun nasional-terhadap aspek terpenting dalam kehidupan manusia sebagai agen ekonomi, yakni kesehatan. Pembangunan memerlukan masyarakat yang sehat. Konsumsi energi fosil yang selama ini terjadi ternyata membahayakan kesehatan manusia, bahkan kelangsungan kehidupannya di muka bumi. Padahal, sesuai prinsip termodinamika, energi mutlak dibutuhkan untuk semua aktivitas produksi ekonomi, yang merupakan manifestasi dari pembangunan itu sendiri.

                          Tabel. 2.4. Dampak Pemanasan Global Bagi Indonesia















Pembangunan diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan. Pada gilirannya, pertumbuhan akan mengikis kemiskinan. MacNeill (1989) menyatakan bahwa hal yang paling mendesak dalam beberapa dekade mendatang ialah pertumbuhan yang lebih cepat. Peningkatan aktivitas ekonomi sebesar 5 hingga 10 kali lipat diperlukan selama 50 tahun ke depan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dunia yang terus berkembang, serta untuk menurunkan kemiskinan massal. Bila kemiskinan ini tidak dikurangi secara signifikan dan sesegera mungkin, makas ebenarnya tidak ada jalan lain unfuk menghentikan penurunan
stok modal dasar yang ada di planet ini, yakni hutan, tanah, spesies, ikan, air, dan atmosfer.
Dengan demikian, di sini terdapat dua pandangan yang berbeda tentang bagaimana seharusnya pelestarian lingkungan dilakukan. Para aktivis lingkungan berpandangan bahwa mengejar pertumbuhan akan menghancurkan lingkungan, dan pertumbuhan yang diperoleh tidak akan mampu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya. Oleh sebab itu, menurut kalangan ini, pengelola negara harus memberlakukan prinsip keberlanjutan "kuat" (strong sustainability) melalui pembatasan aktivitas ekonomi secara ketat. Di sisi lain, tidak sedikit akademisi dan pembuat kebijakan yang justru menganggap bahwa pertumbuhan diperlukan demi menjaga agar kerusakan di bumi tidak semakin parah. Pertumbuhan tersebut kemudian akan mendorong terciptanya pengembangan teknologi untuk memulihkan kerusakan yang sudah terjadi. Pandangan demikian dikenal sebagai prinsip keberlanjutan "lemah" (weak sustainability). Pertanyaannya kemudian ialah, manakah yang benar dari kedua opini tersebut? Atau dengan kata lain, apakah pembangunan dan lingkungan merupakan dua hal yang kontradiktif sehingga masyarakat harus memilih salah satunya? Menurut kami, cara terbaik untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan mengulas berbagai fakta empiris dan hipotesis yang berkembang.
Pada pertemuan tahunan American Economic Association tahun 1954, ekonom yang kemudian memperoleh hadiah Nobel, Simon Kuznet, menyatakan bahwa jika digambarkan dalam sebuah kurva, hubungan antara kesenjangan pendapatan dengan pendapatan per kapita akan membentuk huruf U terbalik. Artinya, pada tahap awal pembangunan, pendapatan per kapita masyarakat meningkat, namun pada saat bersamaan kesenjangan pendapatan juga mengalami kenaikan. Sampai pada titik tertentu, kesenjangan pendapatan menurun, tetapi pendapatan per kapita terus meningkat. Kurva yang menggambarkan hubungan antara kedua variabel ini kemudian dikenal luas sebagai kurva Kuznet (Kuznet Curve).
Pada tahun 1991, melalui publikasi berjudul "Environmental Impact of a North American Free Trade Agreement", ekonom Gene Grossman dan Alan Krueger percaya bahwa jika Digambar dalam sebuah kurva, hubungan yang terjadi antara kualitas lingkungan hidup dan pendapatan per kapita menyerupai hubungan yang terjadi antara kesenjangan pendapatan dan pendapatan per kapita. Kurva ini kemudian dipopulerkan sebagai kurva lingkungan Kuznet (Environmental Kuznet Curae/EKC), sebagaimana terlihat pada Peraga 2.4.
Peraga: 2.4. Kurva Lingkungan Kuznet














Melalui EKC, Grossman dan Krueger mengatakan bahwa pada tahap awal industrialisasi, masyarakat mengalami kenaikan pendapatan per kapita yang diiringi oleh memburuknya kualitas lingkungan hidup. Pada tahap ini, para pelaku ekonomi lebih memprioritaskan upayanya pada peningkatan skala produksi tanpa mempedulikan dampaknya bagi lingkungan. Konsekuensinya, eksploitasi sumber daya alam, peningkatan emisi polutan serta pengoperasian mesin-mesin yang boros energi tidak terhindarkan.
Namun, pada suatu saat, masyarakat mulai sadar bahwa udara dan air yang bersih lebih berharga daripada meningkatnya pertumbuhan tanpa diiringi pelestarian alam. Di sinilah titik balik (turning point) tersebut mulai nyata. Kesadaran tersebut kemudian diwujudkan melalui berbagai inovasi teknologi ramah lingkungan, sehingga kualitas lingkungan membaik dan pada saat bersamaan pendapatan per kapita terus meningkat.
 Kota-kota seperti London, Tokyo, dan New York merupakan beberapa contoh nyata dari kompleksitas hubungan lingkungan versus pertumbuhan. Pada dekade 1960-an tingkat polusi di kota-kota tersibuk di dunia tersebut ternyata lebih tinggi ketimbang saat ini. Pola yang sama juga ditemui di kota-kota besar di negara-negara maju (Hyun et a1,2005), dan tentu tidak menutup kemungkinan di berbagai tempat lainnya. Dengan demikian, hubungan antara tingkat pertumbuhan dan kualitas lingkungan bersifat kompleks. Artinya, korelasi di antara kedua variabel tersebut belum tentu bersifat negatif. Ada suatu masa di mana tingginya pertumbuhan tidak diiringi oleh degradasi lingkungan.
Kurva EKC semakin dipopulerkan oleh Bank Dunia dalam laporan Pembangunan tahun 1992, yang percaya bahwa ketika masyarakat mengalami peningkatan pendapatan, tuntutan terhadap perbaikan kualitas lingkungan juga meningkat, dan pada gilirannya akan diikuti dengan bertambahnya sumber daya yang diperlukan untuk investasi. Beckerman (1992) juga sangat meyakini fakta tersebut. Menurutnya, buktinya telah jelas, bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi menciptakan degradasi lingkungan pada proses awal pembangunan, namun pada akhirnya jalan terbaik-dan mungkin satu-satunya cara-untuk membuat lingkungan menjadi lestari di banyak negara ialah dengan mencapai kemakmuran. Dengan kalimat yang berbeda, Martinez Alier (1995) menekankan bahwa pada tahapan awal pembangunan, negara-negara berkembang "terlalu miskin untuk menjadi hijau".
Hipotesis Grossman dan Krueger tersebut tentu mengejutkan dunia, sekaligus mempertanyakan kredo para aktivitas pencinta
lingkungan yang sebelumnya beranggapan bahwa pertumbuhan hanya akan mengakibatkan kerusakan alam. Iebih jauh, kelahiran EKC mendorong para akademisi untuk menguji validitas terhadap keberadaannya secara empiris dalam melakukan analisis terhadap kebijakan lingkungan di berbagai tempat di dunia.
Berdasarkan hasil survei Jordan (2010) terhadap 255 kaiian empiris, dapat disimpulkan bahwa secara umum keberadaan EKC tidak bersifat mutlak. Ada kajian yang menerima hipotesis keberadaan EKC, namun tidak sedikit pula yang menolak. Atau dengan kata lain, EKC dialami oleh beberapa wilayah di dunia, namun terdapat pula daerah-daerah yang tidak mengalami EKC. Untuk Indonesia, Sambodo (2005) menyatakan bahwa terdapat hubungan monotonik antara pendapatan per kapita dan emisi CO2 di tahun-tahun mendatang. Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya Indonesia mengambil iangkah tegas untuk mengurangi intensitas energi dan karbon.
Meskipun keberadaannya memerlukan kajian yang sangat mendalam, hipotesis EKC berpotensi mempengaruhi strategi pembangunan di negara-negara berkembang. Dengan logika yang ditanamkannya, EKC melegitimasi pertumbuhan tanpa perlunya regulasi untuk perlindungan alam. Artinya, negara-negara tersebut akan terpacu untuk mencapai pertumbuhan setinggi-tingginya tanpa perlu mengindahkan kondisi lingkungan, hingga pada suatu titik-yakni ketika kemakmuran sudah dicapai- barulah pemerintah perlu menggalakkan upaya pelestarian sumber energi dan penanggulangan polusi.
Bila kepercayaan ini benar, maka pemerintah tidak perlu membuat kebijakan yang bersifat protektif terhadap lingkungan. Para agen ekonomi bebas menjalankan aktivitasnya tanpa mempedulikan dampaknya terhadap lingkungan dan EKC akan dialami secara otomatis, tanpa perlu campur tangan regulator. Namun, bagaimana jika ternyata hipotesis EKC tersebut tidak valid? Tentu saja akibatnya sangat fatal. Ekonomi bertumbuh cepat namun seiring dengan itu kerusakan lingkungan semakin menjadi-jadi, sampai pada suatu saat di mana planet ini sudah tidak mampu lagi mengakomodasikan aktivitas manusia. Pada akhirnya, penduduk bumi ini sendirilah yang harus menanggung konsekuensinya.
Untuk menaksir validitas hipotesis EKC, tentu harus ditelaah faktor-faktor penentu terjadinya pola hubungan unik dari pendapatan dan tingkat polusi tersebut, untuk melihat apakah peran pemerintah dibutuhkan untuk menurunkan tingkat polusi. Dari hasil surveinya terhadap literatur tentang EKC, Lieb (2003) mengatakan bahwa ada beberapa penyebab yang memungkinkan terjadinya EKC, yakni:

1.      Tuntutan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik.
Studi empiris membuktikan bahwa kualitas lingkungan adalah barang normal (Kristrom dan Riera,1996). Artinya, keinginan masyarakat untuk menikmati alam yang bersih meningkat seiring dengan bertumbuhnya pendapatan mereka. Ini menjadi penyebab mengapa tingkat polusi turun setelah masyarakat semakin makmur, yakni sesudah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Karena makmur, masyarakat mampu mengenyam tingkat pendidikan tinggi, sehingga timbullah kesadaran tentang bahaya dari tingginya tingkat polusi terhadap kesehatan yang pada akhirnya mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan lingkungan. Berbagai hasil studi tmenyimpulkan bahwa kebijakan lingkunganlah yang paling menentukan penurunan tingkat polusi dan akhirnya mampu "menghadirkan" kurva EKC pada perekonomian.

2. Substitusi berbagai polutan.
Sumbu Y pada kurva EKC merepresentasikan zat polutan yang digunakan dalam penelitian berdasarkan ketersediaan data (yang paling sering digunakan konsumsi energi, emisi nitrogen ialah karbon dioksida, sulfur dioksida, tingkatoksida (Jordan 2010)].  Menurunnya kurva EKC sebenarnya belum tentu merefleksikan adanya penurunan volume polutan. Jika pemerintah hanya mengatur beberapa polutan, maka baik disadari maupun tidak, terdapat peluang bagi para pelaku ekonomi untuk mencemari lingkungan dengan polutan lain-yang belum diregulasikan. Dengan demikian, sebenarnya volume polutan secara keseluruhan tidak berkurang, melainkan hanya disubstitusikan oleh polutan lainnya yang tidak terukur dalam kurva EKC, sehingga kurva tersebut memperlihatkan gerak menurun.
Stern (1998) memberikan fakta empiris dari keadaan semacam ini. Ia meyakini bahwa terjadi substitusi polutan dari emisi sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx) menjadi karbon dioksida (CO2) akibat semakin tingginya intensitas penggunaan bahan bakar fosil. Akibatnya, kurva EKC untuk SO2 terlihat mengalami penurunan, meskipun sebenarnya kuantitas polutan secara total tidak berkurang.
Dengan demikian, regulasi pemerintah seharusnya mencakup semua polutan, baik yang sudah ada maupun yang potensial. Namun, menentukan sifat polutan dari sebuah zat tidak semudah membalikan telapak tangan. Para ilmuwan membutuhkan dana riset yang jelas tidak sedikit untuk menyelesaikan penelitiannya. Sedangkan saat ini pendanaan riset dan pengembangan oleh negara-negara di dunia masih terbatas.

3. Kemajuan teknologi.
Perkembangan teknologi menentukan pola polusi yang terjadi. Namun, perkembangan teknologi berhubungan erat dengan kondisi ekonomi. Dengan majunya perekonomian, pelaku usaha memiliki kemampuan untuk mengganti teknologi usang dengan teknologi yang lebih mutakhir, dengan harapan langkah tersebut akan mereduksi emisi polutan. Namun, perlu diingat bahwa "sentuhan" kebijakan pemerintah tetap diperlukan untuk menentukan arah perkembangan teknologi, misalnya melalui peningkatan anggaran untuk riset dan pengembangan teknologi ramah lingkungan. Lahirnya teknologi semacam ini akan memungkinkan tingginya laju aktivitas ekonomi tanpa harus diiringi peningkatan emisi polusi. Tugas pembuat kebijakan ialah mengkondisikan pasar agar teknologi semacam itu dapat terwujud dan digunakan oleh para agen ekonomi. Memberikan insentif bagi perusahaan rekayasa teknologi serta menaikkan pajak para pengguna teknologi lama merupakan contoh langkah-langkahyang dapat ditempuh pemerintah.

4. Perubahan struktur ekonomi.
Di zaman purbakala, aktivitas ekonomi manusia tidak menghasilkan polusi. Untuk memenuhi kebutuhan pangannya, manusia mulai mengenal pertanian. Seperti pada umumnya, tahapan pembangunan berikutnya setelah pertanian ialah industrialisasi. Sebagaimana dijabarkan pada bagian sebelumnya, pada tahapan inilah intensitas penggunaan energi fosil meningkat pesat, yang berakibat pada pencemaran udara. Namun, pasca-industrialisasi polusi mulai berkurang karena ekonomi berevolusi ke pengembangan sektor jasa, sebagaimana kerap terlihat pada struktur ekonomi negara-negara maju. Dengan kata lain, terjadi penurunan pada kurva EKC akibat evolusi struktur industri yang mengarah pada ekonomi berbasis jasa. Secara teoretis, perubahan struktur semacam ini diyakini terjadi secara alamiah. Oleh sebab itu, para pengusung hipotesis EKC menganggap bahwa intervensi pemerintah dalam bentuk regulasi lingkungan sebenarnya tidak diperlukan. Menurut de Groot (1999), anggapan tersebut tidak tepat. Perubahan struktural tidak berperan besar dalam menurunkan tingkat emisi. Pengurangan emisi polutan secara signifikan dapat terjadi bila terdapat kebijakan yang membuat harga energi fosil sebagai input menjadi lebih mahal. Hal ini akan memberikan insentif bagi lahirnya teknologi hemat energi. Keyakinan yang sama dikemukakan oleh Cassou dan Hamilton (2000), yakni bahwa perubahan skuktural dimungkinkan terjadi karena adanya kebijakan berupa peningkatan pajak polusi.

5. Migrasi industri penghasil polusi.
Menurut teori perdagangan internasional Hecksher-Ohlin, ketika rezim perdagangan bebas berlaku, negara-negara berkembang berspesialisasi untuk memproduksi barang-barang dari industri padat karya dan padat sumber daya alam. Ini terjadi karena negara-negara tersebut cenderung berkelimpahan dalam suplai tenaga kerja dan sumber daya alam. Di sisi lain, negara- negara maju lebih terspesialisai pada modal manusia dan barang- barang hasil olahan dari industri padat modal. Hal ini mendorong terjadinya migrasi industri dari negara maju ke negara berkembang. Migrasi industri ini kemudian membuat tingkat polusi di negara maju berkurang, namun kerusakan lingkungan di negara berkembang semakin parah. Migrasi industri ke negara berkembang semakin deras seiring dengan bertambah ketatnya regulasi lingkungan di negara maju (Lucas et al,l992). Konsekuensinya, kurva EKC di negara-negara maju menurun. Dengan demikian, penurunan kurva EKC disebabkan oleh relokasi situs-situs produksi yang dipicu oleh kebijakan pengaturan polusi. Dalam hal ini relokasi industri didorong untuk memanfaatkan regulasi lingkungan yang relatif lebih longgar di negara berkembang.
Berbagai studi empiris membuktikan terjadinya migrasi industri. Birdsall dan Vtrheeler (1992) menyatakan bahwa terjadi relokasi produksi pada industri dengan intensitas racun yang tinggi dari negara maju ke negara berkembang. Low (1992) menunjukkan bahwa industri pencemar lingkungan bertumbuh lebih cepat di negara berkembang daripada di negara maju. Perrings dan Ansuategui (2000) menemukan bahwa kontribusi produk-produk yang dihasilkan oleh industri berpolusi di negara-negara berkembang terhadap keseluruhan ouput dunia terus meningkat. Bukti lain yang juga menarik ditemukan oieh Rothman (1998), yakni bahwa konsumsi produk-produk "kotor" di negara-negara maju bertumbuh lebih cepat daripada produksinya. Kesenjangan konsumsi-produksi ini kemudian diatasi melalui impor produk- produk tidak ramah lingkungan tersebut dari negaraberkembang. Temuan ini dikonfirmasi oleh Suri dan Chapman (1998), yang menyimpulkan bahwa tingginya aktivitas impor produk-produk kotor menurunkan kurva EKC di negara-negara maju.
Dengan demikian, migrasi industri telah mendorong relokasi polusi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya di bumi. Di negara-negara maju, volume polutan berkurang, namun dalam skala global sebenarnya tidak terdapat perubahan, bahkan tidak menutup kemungkinan justru bertambah seiring dengan derasnya arus investasi langsung dari negara maju ke negara berkembang.

6. Distribusi Pendapatan.
Distribusi pendapatan juga mempengaruhi keberadaan EKC. Perbedaan tingkat pendapatan di antara anggota masyarakat melahirkan perbedaan kepentingan terhadap kualitas lingkungan. Semakin besar ketimpangan pendapatan yang terjadi, semakin besar pula perbedaan keinginan untuk mewujudkan pelestarian lingkungan. Sebaliknya, kesenjangan pendapatan yang kecil akan cenderung melahirkan visi yang sama antar anggota masyarakat, dan hal ini akan lebih efektif dalam mendorong lahirnya kebijakan publik untuk melindungi lingkungan. Akibatnya, tingkat polusi-yang tergambar dalam kurva EKC-menurun. Dengan kata lain, Magnani (2000) mengatakan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan yang besar di negara-negara berkembang memperlambat pembuatan kebijakan lingkungan.
Torras dan Boyce (1998) menyodorkan hipotesis yang sedikit berbeda, yakni melibatkan unsur kekuatan politik. Bila terjadi kesenjangan pendapatan tinggi, maka kaum miskin yang menderita akibat polusi tidak memiliki kekuatan politik untuk mengadvokasi kebijakan. Sebaliknya, golongan kaya raya yang memperoleh keuntungan dari aktivitas penghasil polusi, memiliki pengaruh kuat terhadap lembaga-lembaga politik sehingga proses pembuatan kebijakan lingkungan menghadapi resistensi. Di sini, kita melihat perlunya kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan di dalam masyarakat agar penurunan kurva EKC dapat diwujudkan.

7. Gejolak harga.
Kajian Moomaw dan Unruh (1997) menunjukkan bahwa gejolak harga minyak yang terjadi pada tahun 1970 menyebabkan turunnya emisi CO2 di negara-negara maju yang tergabung dalam Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Ini mengakibatkan penurunan EKC di negara-negara tersebut.
Namun, perlu dicatat bahwa kenaikan harga minyak per sen berdasarkan translator artinya sendiri atau pada hakekatnya tidak lantas menurunkan tingkat polusi akibat berkurangnya konsumsi minyak. Jika pada saat harga minyak meroket dan negara-negara pengimpor minyak juga menaikkan nilai subsidinya sehingga harga minyak yang dijual ke masyarakat tidak berubah, maka volume konsumsi minyak tetap. Akibatnya, tingkat polusi juga cenderung konstan. Dengan demikian, apakah gejolak harga minyak akan menurunkan kurva EKC sepenuhnya tergantung pada kebijakan subsidi harga minyak oleh pemerintah.
Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi pembangunan yang hanya terfokus pada penciptaan pertumbuhan dapat berakibat buruk pada lingkungan. Maka, peran pemerintah melalui penciptaan kebijakan diperlukan untuk menjaga keseimbangan ekologi.
Para penyelenggara negara tidak boleh membiarkan dunia usaha mengeksploitasi energi fosil tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya dan menciptakan polusi di luar batas kapasitas alam untuk menyerapnya. Namun, mesti diperhatikan bahwa aktivitas ekonomi harus terus berjalan. Tingginya angka pengangguran di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, memberikan kesan bahwa perlu adanya peningkatan investasi dan utilisasi kapasitas produksi di sektor swasta. Pada titik inilah Pemerintah Indonesia dihadapkan pada dilema antara memacu pertumbuhan, mengurangi kemiskinan serta menjaga kelestarian alam.
Namun menariknya, akademisi seperti Porter (1990) dan Templet (1995) serta politisi ternama Clinton-Gore (1992) mengatakan bahwa pembangunan dan lingkungan bukanlah sebuah pilihan simalakama (trade-off). Itu sebabnya, asumsi yang mengatakan bahwa regulasi lingkungan berpotensi mengganggu kinerja ekonomi semakin dipertanyakan keabsahannya (Feiock,1998; Ringquist dan Feiock,1998).
Bahkan, dari kajian empiris oleh Hall (1994) dan Meyer (1992) di negara-negara bagian di AS ditemukan bahwa terdapat korelasi yang positif antara kinerja ekonomi dan indikator lingkungan. Artinya, negara-negara bagian yang paling melindungi lingkungan justru memiliki kinerja ekonomi baik. Mengapa hal ini dapat terjadi? Jawabannya ternyata sederhana, yakni karena adanya kepastian regulasi. Jika peraturan yang ditetapkan sangat kompleks, tidak jelas serta kerap kali berubah-ubah, maka terciptalah suasana ketidakpastian regulasi. Implikasi dari situasi semacam ini ialah tingginya biaya modal (cost of capital) yang harus ditanggung perusahaan, sehingga profitabilitas menjadi rendah. Demikian pula, menurut Clingermayer (1989) bahwa meskipun akitivitas ekonomi entitas bisnis di suatu wilayah dibatasi oleh peraturan yang ketat, tapi regulasinya jelas dan cenderung stabil, maka perusahaan menghadapi risiko investasi yang kecil. Akibatnya, profitabilitas menjadi lebih tinggi.
Pesan yang diberikan dari hasil kajian tersebut ialah bahwa organisasi, struktur institusional serta desain administratif dari program regulasi dapat berdampak-baik positif maupun negative terhadap pertumbuhan ekonomi. Kepastian regulasi dapat dicapai melalui sentralisasi fungsi-fungsi regulasi, peningkatan koordinasi dan perampingan birokrasi, peningkatan kapasitas administratif serta perencanaan strategis dalam inisiatif penanggulangan polusi.
Oleh sebab itu, kapasitas pembuat kebijakan menjadi penting untuk terus ditingkatkan, mengingat intensitas tantangan yang dihadapi, baik aktivitas ekonomi maupun kelestarian lingkungan, akan semakin besar. Para penyelenggara negara harus mencari jalan agar keduanya dapat berjalan dengan seimbang. Untuk mencapai keseimbangan tersebut, para ahli ekonomi mengusulkan perlunya pemberlakuan mekanisme "reward and punishrnent" dalam sistem ekonomi melalui internalisasi biaya eksternal.

Sumber:
Donny Yoesgiantoro.2017.Kebijakan Energi Lingkungan.Jakarta: LP3ES, hal.41-52

Tugas mandiri
1.  Jelaskan pandangan ahli lingkungan melihat pertumbuhan ekonomi, lingkugan hidup dan pengentasan kemiskinan?
2. Jelaskan pengertian dari kurva lingkungan Kuuznet, hubungkan dengan memacu pertumbuhan, mengurangi lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan?
3. Jelaskan faktor-faktor  yang menentukan validitas  hipoteis Environmental Kuznet Curae (SKC)?
4. Jelaskan hubungan teori perdagangan bebas dengan migrasi industri dari negara maju ke negara berkembang dan hubungannya dengan kerusakan lingkungan?
5. Jelaskan bagaimana perbedaan distribusi pendapatan yang jauh berbeda dan hampir sama dalam penyelamatan lingkungan hidup?






6 comments:

  1. Nama : Muhammad Dendy Agusdiandy
    NIM : 17 202 061
    Mata Kuliah : Audit dan Efisiensi Energi

    1. Jelaskan pandangan ahli lingkungan melihat pertumbuhan ekonomi, lingkugan hidup dan pengentasan kemiskinan?
    Jawab: Pandangan ahli lingkungan melihat pertumbuhan ekonomi, lingkugan hidup dan pengentasan kemiskinan yaitu bahwa mengejar pertumbuhan akan menghancurkan lingkungan, dan pertumbuhan yang diperoleh tidak akan mampu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya dan perlu adanya kesadaran yang kemudian diwujudkan melalui berbagai inovasi teknologi ramah lingkungan, sehingga kualitas lingkungan membaik dan pada saat bersamaan pendapatan per kapita terus meningkat.

    2. Jelaskan pengertian dari kurva lingkungan Kuuznet, hubungkan dengan memacu pertumbuhan, mengurangi lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan?
    Jawab: Kurva lingkungan Kuuznet adalah kurva yang menggambarkan hubungan yang terjadi antara kualitas lingkungan hidup dan pendapatan per kapita menyerupai hubungan yang terjadi antara kesenjangan pendapatan dan pendapatan per kapita. Pada tahap awal industrialisasi, masyarakat mengalami kenaikan pendapatan per kapita yang diiringi oleh memburuknya kualitas lingkungan hidup. Pada tahap ini, para pelaku ekonomi lebih memprioritaskan upayanya pada peningkatan skala produksi tanpa mempedulikan dampaknya bagi lingkungan. Konsekuensinya, eksploitasi sumber daya alam, peningkatan emisi polutan serta pengoperasian mesin-mesin yang boros energi tidak terhindarkan. Namun, pada suatu saat, masyarakat mulai sadar bahwa udara dan air yang bersih lebih berharga daripada meningkatnya pertumbuhan tanpa diiringi pelestarian alam. Kesadaran tersebut kemudian diwujudkan melalui berbagai inovasi teknologi ramah lingkungan, sehingga kualitas lingkungan membaik dan pada saat bersamaan pendapatan per kapita terus meningkat.

    3. Jelaskan faktor-faktor yang menentukan validitas hipoteis Environmental Kuznet Curae (EKC)?
    Jawab: Faktor-faktor yang menentukan validitas hipotesis EKC yaitu:
    a. Tuntutan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik.
    b. Substitusi berbagai polutan.
    c. Kemajuan teknologi.
    d. Perubahan struktur ekonomi.
    e. Migrasi industri penghasil polusi.
    f. Distribusi Pendapatan.
    g. Gejolak harga.

    4. Jelaskan hubungan teori perdagangan bebas dengan migrasi industri dari negara maju ke negara berkembang dan hubungannya dengan kerusakan lingkungan?
    Jawab: Hubungannya ketika perdagangan bebas berlaku, negara-negara berkembang berspesialisasi untuk memproduksi barang-barang dari industri padat karya dan padat sumber daya alam. Ini terjadi karena negara-negara tersebut cenderung berkelimpahan dalam suplai tenaga kerja dan sumber daya alam dan negara-negara maju lebih terspesialisai pada modal manusia dan barang- barang hasil olahan dari industri padat modal. Hal ini mendorong terjadinya migrasi industri dari negara maju ke negara berkembang. Migrasi industri ini kemudian membuat tingkat polusi di negara maju berkurang, namun kerusakan lingkungan di negara berkembang semakin parah.

    5. Jelaskan bagaimana perbedaan distribusi pendapatan yang jauh berbeda dan hampir sama dalam penyelamatan lingkungan hidup?
    Jawab: Perbedaan tingkat pendapatan di antara anggota masyarakat melahirkan perbedaan kepentingan terhadap kualitas lingkungan. Semakin besar ketimpangan pendapatan yang terjadi, semakin besar pula perbedaan keinginan untuk mewujudkan pelestarian lingkungan. Sebaliknya, kesenjangan pendapatan yang kecil akan cenderung melahirkan visi yang sama antar anggota masyarakat, dan hal ini akan lebih efektif dalam mendorong lahirnya kebijakan publik untuk melindungi lingkungan. Akibatnya, tingkat polus yang tergambar dalam kurva EKC menurun.

    ReplyDelete
  2. Nama : Herbet Darusman Sihite
    NIM : 17202065
    Mata Kuliah : Audit dan Efisiensi Energi

    1. Jelaskan pandangan ahli lingkungan melihat pertumbuhan ekonomi, lingkugan hidup dan pengentasan kemiskinan?
    Jawab:
    Pandangan ahli lingkungan melihat pertumbuhan ekonomi, lingkugan hidup dan pengentasan kemiskinan yaitu bahwa mengejar pertumbuhan akan menghancurkan lingkungan, dan pertumbuhan yang diperoleh tidak akan mampu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya dan perlu adanya kesadaran yang kemudian diwujudkan melalui berbagai inovasi teknologi ramah lingkungan, sehingga kualitas lingkungan membaik dan pada saat bersamaan pendapatan per kapita terus meningkat.

    2. Jelaskan pengertian dari kurva lingkungan Kuuznet, hubungkan dengan memacu pertumbuhan, mengurangi lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan?
    Jawab:
    Kurva lingkungan Kuuznet adalah kurva yang menggambarkan hubungan yang terjadi antara kualitas lingkungan hidup dan pendapatan per kapita menyerupai hubungan yang terjadi antara kesenjangan pendapatan dan pendapatan per kapita. Pada tahap awal industrialisasi, masyarakat mengalami kenaikan pendapatan per kapita yang diiringi oleh memburuknya kualitas lingkungan hidup. Pada tahap ini, para pelaku ekonomi lebih memprioritaskan upayanya pada peningkatan skala produksi tanpa mempedulikan dampaknya bagi lingkungan. Konsekuensinya, eksploitasi sumber daya alam, peningkatan emisi polutan serta pengoperasian mesin-mesin yang boros energi tidak terhindarkan. Namun, pada suatu saat, masyarakat mulai sadar bahwa udara dan air yang bersih lebih berharga daripada meningkatnya pertumbuhan tanpa diiringi pelestarian alam. Kesadaran tersebut kemudian diwujudkan melalui berbagai inovasi teknologi ramah lingkungan, sehingga kualitas lingkungan membaik dan pada saat bersamaan pendapatan per kapita terus meningkat.

    3. Jelaskan faktor-faktor yang menentukan validitas hipoteis Environmental Kuznet Curae (EKC)?
    Jawab:
    Faktor-faktor yang menentukan validitas hipotesis EKC yaitu:
    a. Tuntutan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik.
    b. Substitusi berbagai polutan.
    c. Kemajuan teknologi.
    d. Perubahan struktur ekonomi.
    e. Migrasi industri penghasil polusi.
    f. Distribusi Pendapatan.
    g. Gejolak harga.

    4. Jelaskan hubungan teori perdagangan bebas dengan migrasi industri dari negara maju ke negara berkembang dan hubungannya dengan kerusakan lingkungan?
    Jawab:
    Hubungannya ketika perdagangan bebas berlaku, negara-negara berkembang berspesialisasi untuk memproduksi barang-barang dari industri padat karya dan padat sumber daya alam. Ini terjadi karena negara-negara tersebut cenderung berkelimpahan dalam suplai tenaga kerja dan sumber daya alam dan negara-negara maju lebih terspesialisai pada modal manusia dan barang- barang hasil olahan dari industri padat modal. Hal ini mendorong terjadinya migrasi industri dari negara maju ke negara berkembang. Migrasi industri ini kemudian membuat tingkat polusi di negara maju berkurang, namun kerusakan lingkungan di negara berkembang semakin parah.

    5. Jelaskan bagaimana perbedaan distribusi pendapatan yang jauh berbeda dan hampir sama dalam penyelamatan lingkungan hidup?
    Jawab:
    Perbedaan tingkat pendapatan di antara anggota masyarakat melahirkan perbedaan kepentingan terhadap kualitas lingkungan. Semakin besar ketimpangan pendapatan yang terjadi, semakin besar pula perbedaan keinginan untuk mewujudkan pelestarian lingkungan. Sebaliknya, kesenjangan pendapatan yang kecil akan cenderung melahirkan visi yang sama antar anggota masyarakat, dan hal ini akan lebih efektif dalam mendorong lahirnya kebijakan publik untuk melindungi lingkungan. Akibatnya, tingkat polus yang tergambar dalam kurva EKC menurun

    ReplyDelete
  3. Nama : Muhammad Andika
    NIM : 17202130
    MKE. : Audit dan Efisiensi Energi

    1. Pandangan ahli lingkungan melihat pertumbuhan ekonomi, lingkugan hidup dan pengentasan kemiskinan bahwasanya mengejar pertumbuhan akan menghancurkan lingkungan, dan pertumbuhan yang diperoleh tidak akan mampu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya. Oleh sebab itu, menurut kalangan ini, pengelola negara harus memberlakukan prinsip keberlanjutan "kuat" (strong sustainability) melalui pembatasan aktivitas ekonomi secara ketat. Di sisi lain, tidak sedikit akademisi dan pembuat kebijakan yang justru menganggap bahwa pertumbuhan diperlukan demi menjaga agar kerusakan di bumi tidak semakin parah. Pertumbuhan tersebut kemudian akan mendorong terciptanya pengembangan teknologi untuk memulihkan kerusakan yang sudah terjadi.

    2. Hubungan kurva Kuznet (Kuznet Curve) dengan memacu pertumbuhan, mengurangi lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan adalah sangat erat kaitannya dimana kurva Kuznet yang merupakan sebuah kurva yg meghubungkan antara kesenjangan pendapatan dengan pendapatan per kapita,Artinya, pada tahap awal pembangunan, pendapatan per kapita masyarakat meningkat, namun pada saat bersamaan kesenjangan pendapatan juga mengalami kenaikan. Sampai pada titik tertentu, kesenjangan pendapatan menurun, tetapi pendapatan per kapita terus meningkat. Dimana EKC berpotensi mempengaruhi strategi pembangunan di negara-negara berkembang. Dengan logika yang ditanamkannya, EKC melegitimasi pertumbuhan tanpa perlunya regulasi untuk perlindungan alam. Artinya, negara-negara tersebut akan terpacu untuk mencapai pertumbuhan setinggi-tingginya tanpa perlu mengindahkan kondisi lingkungan, hingga pada suatu titik-yakni ketika kemakmuran sudah dicapai- barulah pemerintah perlu menggalakkan upaya pelestarian sumber energi dan penanggulangan polusi.

    3. Faktor-faktor yang menentukan validitas hipoteis Environmental Kuznet Curae (SKC) antara lain adalah :
    -Tuntutan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik.
    -Substitusi berbagai polutan.
    -Kemajuan teknologi.
    -Perubahan struktur ekonomi.
    -Migrasi industri penghasil polusi.
    -Distribusi Pendapatan.
    -Gejolak harga.

    4. hubungan teori perdagangan bebas dengan migrasi industri dari negara maju ke negara berkembang dan hubungannya dengan kerusakan lingkungan ini merupakan hal yg tidak dapat Dipisahkan dimana teori perdagangan Bebas adalah kebijakan di mana pemerintah tidak melakukan diskriminasi terhadap impor atau ekspor.
    Dalam hal ini tentunya dikarenakan Kebebasan Industri negara maju kenegara berkembang ini dapat mengakibatkan tidak terkontrol nya Kegiatan industri yg masuk Tersebut,dan akan mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan.

    5. Perbedaan distribusi pendapatan yang jauh berbeda dan hampir sama dalam penyelamatan lingkungan hidup yaitu........
    Perbedaan tingkat pendapatan di antara anggota masyarakat melahirkan perbedaan kepentingan terhadap kualitas lingkungan. Semakin besar ketimpangan pendapatan yang terjadi, semakin besar pula perbedaan keinginan untuk mewujudkan penyelamatan lingkungan. Sebaliknya, kesenjangan pendapatan yang kecil akan cenderung melahirkan visi yang sama antar anggota masyarakat, dan hal ini akan lebih efektif dalam mendorong lahirnya kebijakan publik untuk melindungi lingkungan hidup.

    ReplyDelete
  4. Nama : Muhammad Hidayah
    NIM : 17 202 060
    Mata Kuliah : Audit dan Efisiensi Energi

    1. Pandangan ahli lingkungan melihat pertumbuhan ekonomi, lingkugan hidup dan pengentasan kemiskinan yaitu bahwa mengejar pertumbuhan akan menghancurkan lingkungan, dan pertumbuhan yang diperoleh tidak akan mampu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya dan perlu adanya kesadaran yang kemudian diwujudkan melalui berbagai inovasi teknologi ramah lingkungan, sehingga kualitas lingkungan membaik dan pada saat bersamaan pendapatan per kapita terus meningkat.

    2. Kurva lingkungan Kuuznet adalah kurva yang menggambarkan hubungan yang terjadi antara kualitas lingkungan hidup dan pendapatan per kapita menyerupai hubungan yang terjadi antara kesenjangan pendapatan dan pendapatan per kapita. Pada tahap awal industrialisasi, masyarakat mengalami kenaikan pendapatan per kapita yang diiringi oleh memburuknya kualitas lingkungan hidup. Pada tahap ini, para pelaku ekonomi lebih memprioritaskan upayanya pada peningkatan skala produksi tanpa mempedulikan dampaknya bagi lingkungan. Konsekuensinya, eksploitasi sumber daya alam, peningkatan emisi polutan serta pengoperasian mesin-mesin yang boros energi tidak terhindarkan. Namun, pada suatu saat, masyarakat mulai sadar bahwa udara dan air yang bersih lebih berharga daripada meningkatnya pertumbuhan tanpa diiringi pelestarian alam. Kesadaran tersebut kemudian diwujudkan melalui berbagai inovasi teknologi ramah lingkungan, sehingga kualitas lingkungan membaik dan pada saat bersamaan pendapatan .

    3. Faktor-faktor yang menentukan validitas hipotesis EKC yaitu:
    a. Tuntutan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik.
    b. Substitusi berbagai polutan.
    c. Kemajuan teknologi.
    d. Perubahan struktur ekonomi.
    e. Migrasi industri penghasil polusi.
    f. Distribusi Pendapatan.
    g. Gejolak harga.

    4. Hubungannya ketika perdagangan bebas berlaku, negara-negara berkembang berspesialisasi untuk memproduksi barang-barang dari industri padat karya dan padat sumber daya alam. Ini terjadi karena negara-negara tersebut cenderung berkelimpahan dalam suplai tenaga kerja dan sumber daya alam dan negara-negara maju lebih terspesialisai pada modal manusia dan barang- barang hasil olahan dari industri padat modal. Hal ini mendorong terjadinya migrasi industri dari negara maju ke negara berkembang. Migrasi industri ini kemudian membuat tingkat polusi di negara maju berkurang, namun kerusakan lingkungan di negara berkembang semakin parah.

    5. Perbedaan tingkat pendapatan di antara anggota masyarakat melahirkan perbedaan kepentingan terhadap kualitas lingkungan. Semakin besar ketimpangan pendapatan yang terjadi, semakin besar pula perbedaan keinginan untuk mewujudkan pelestarian lingkungan. Sebaliknya, kesenjangan pendapatan yang kecil akan cenderung melahirkan visi yang sama antar anggota masyarakat, dan hal ini akan lebih efektif dalam mendorong lahirnya kebijakan publik untuk melindungi lingkungan. Akibatnya, tingkat polus yang tergambar dalam kurva EKC menurun.

    ReplyDelete
  5. Nama : Bintang Kelana Putra.
    NIM : 17202116
    MKE : Audit dan Efisiensi Energi.

    Jawaban

    1. Pandangan ahli lingkungan melihat pertumbuhan ekonomi, lingkungan hidup dan pengentasan kemiskinan yaitu bahwa mengejar pertumbuhan akan menghancurkan lingkungan, dan pertumbuhan yang diperoleh tidak akan mampu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya dan perlu adanya kesadaran masyarakat.

    2. Kurva lingkungan Kuuznet adalah kurva yang menggambarkan hubungan yang terjadi antara kualitas lingkungan hidup dan pendapatan per kapita menyerupai hubungan yang terjadi antara kesenjangan pendapatan dan pendapatan per kapita. Pada tahap awal industrialisasi, masyarakat mengalami kenaikan pendapatan per kapita yang diiringi oleh memburuknya kualitas lingkungan hidup. Pada tahap ini, para pelaku ekonomi lebih memprioritaskan upayanya pada peningkatan skala produksi tanpa mempedulikan dampaknya bagi lingkungan. Konsekuensinya, eksploitasi sumber daya alam, peningkatan emisi polutan serta pengoperasian mesin-mesin yang boros energi tidak terhindarkan.

    3. Faktor-faktor yang menentukan validitas hipotesis EKC yaitu:
    - Substitusi berbagai polutan.
    - Migrasi industri penghasil polusi.
    - Tuntutan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik.
    - Kemajuan teknologi.
    - Distribusi Pendapatan.
    - Gejolak harga.
    - Perubahan struktur ekonomi

    4. Hubungannya ketika perdagangan bebas berlaku, negara-negara berkembang berspesialisasi untuk memproduksi barang-barang dari industri padat karya dan padat sumber daya alam. Ini terjadi karena negara-negara tersebut cenderung berkelimpahan dalam suplai tenaga kerja dan sumber daya alam dan negara-negara maju lebih terspesialisai pada modal manusia dan barang- barang hasil olahan dari industri padat modal. Hal ini mendorong terjadinya migrasi industri dari negara maju ke negara berkembang. Migrasi industri ini kemudian membuat tingkat polusi di negara maju berkurang, namun kerusakan lingkungan di negara berkembang semakin parah.

    5.Perbedaan tingkat pendapatan di antara anggota masyarakat melahirkan perbedaan kepentingan terhadap kualitas lingkungan. Semakin besar ketimpangan pendapatan yang terjadi, semakin besar pula perbedaan keinginan untuk mewujudkan pelestarian lingkungan. Sebaliknya, kesenjangan pendapatan yang kecil akan cenderung melahirkan visi yang sama antar anggota masyarakat, dan hal ini akan lebih efektif dalam mendorong lahirnya kebijakan publik untuk melindungi lingkungan.

    ReplyDelete
  6. Nama : Afif Nugraha Arfandi
    Nim : 17 202 141
    Mata kuliah : Audit dan Efisiensi Energi

    1). Pandangan ahli lingkungan melihat pertumbuhan ekonomi, lingkugan hidup dan pengentasan kemiskinan bahwasanya mengejar pertumbuhan akan menghancurkan lingkungan, dan pertumbuhan yang diperoleh tidak akan mampu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya. Oleh sebab itu, menurut kalangan ini, pengelola negara harus memberlakukan prinsip keberlanjutan "kuat" (strong sustainability) melalui pembatasan aktivitas ekonomi secara ketat. 

    2). Kurva lingkungan Kuuznet adalah kurva yang menggambarkan hubungan yang terjadi antara kualitas lingkungan hidup dan pendapatan per kapita menyerupai hubungan yang terjadi antara kesenjangan pendapatan dan pendapatan per kapita. Pada tahap awal industrialisasi, masyarakat mengalami kenaikan pendapatan per kapita yang diiringi oleh memburuknya kualitas lingkungan hidup. Pada tahap ini, para pelaku ekonomi lebih memprioritaskan upayanya pada peningkatan skala produksi tanpa mempedulikan dampaknya bagi lingkungan. Konsekuensinya, eksploitasi sumber daya alam, peningkatan emisi polutan serta pengoperasian mesin-mesin yang boros energi tidak terhindarkan. Namun, pada suatu saat, masyarakat mulai sadar bahwa udara dan air yang bersih lebih berharga daripada meningkatnya pertumbuhan tanpa diiringi pelestarian alam. Kesadaran tersebut kemudian diwujudkan melalui berbagai inovasi teknologi ramah lingkungan, sehingga kualitas lingkungan membaik dan pada saat bersamaan pendapatan per kapita terus meningkat.

    3). Faktor-faktor yang menentukan validitas hipotesis EKC yaitu:
    a. Tuntutan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik.
    b. Substitusi berbagai polutan.
    c. Kemajuan teknologi.
    d. Perubahan struktur ekonomi.
    e. Migrasi industri penghasil polusi.
    f. Distribusi Pendapatan.
    g. Gejolak harga.


    4). hubungan teori perdagangan bebas dengan migrasi industri dari negara maju ke negara berkembang dan hubungannya dengan kerusakan lingkungan ini merupakan hal yg tidak dapat Dipisahkan dimana teori perdagangan Bebas adalah kebijakan di mana pemerintah tidak melakukan diskriminasi terhadap impor atau ekspor.
    Dalam hal ini tentunya dikarenakan Kebebasan Industri negara maju kenegara berkembang ini dapat mengakibatkan tidak terkontrol nya Kegiatan industri yg masuk Tersebut,dan akan mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan.

    5). Perbedaan tingkat pendapatan di antara anggota masyarakat melahirkan perbedaan kepentingan terhadap kualitas lingkungan. Semakin besar ketimpangan pendapatan yang terjadi, semakin besar pula perbedaan keinginan untuk mewujudkan pelestarian lingkungan. Sebaliknya, kesenjangan pendapatan yang kecil akan cenderung melahirkan visi yang sama antar anggota masyarakat, dan hal ini akan lebih efektif dalam mendorong lahirnya kebijakan publik untuk melindungi lingkungan. Akibatnya, tingkat polus yang tergambar dalam kurva EKC menurun.

    ReplyDelete